Rabu, 29 Oktober 2008

REFORMASI ADMINISTRASI DAN PARADOKS DEMOKRASI

Ini menjelaskan tentang perselingkuhan antara birokrasi dengan elit politik yang semakin inten. Melalui institusi Presiden dan Wakil Presiden dengan Wakil Rakyat, DPR. Kebijakan yang dirumuskan dianggap sah dan demokratis, hanya karena adanya keberadaan symbol institusi dari demokrasi, yakni DPR. Di sisi berhadapan birokrat begitu kuat menjaga motif nilai manajer departemen. Pada konteks organisasi public, eksekutif melalui birokrasinya terbawa tuntutan reformasi administrasi melalui paradigma pasar, sepert terwujudnya good governance. Ini dilakukan untuk menghindari kegagalan implementasi dan kritik keras terhadap birokrasi. Dilema yang muncul adalah birokrasi harus professional dan responsive tapi, pada sisi lain otonominya sebenarnya sedang ditekan oleh politisi melalui paradigma baru. Dugaan bahwa dinamika komplek terpotret melalui bargaining dalam sector public yang memungkunkan terjadi manipulasi dalam pengelolaan sector public. Reformasi politik, telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik ditengah arus demokratisasi, karena reformasi administrasi sering direduksi pada tatanan tehnis. Birokrasi sebenarnya tidak akan bisa netral.

Birokrasi dan jebakan politik

Orde baru melalui bureaucratic polity, tekanan kekuasaan dan dinamika dibangun sistematis di dalam menjalankan. Disini demokrasi dikesampingkan. Dua hal penting model bureaucratic polity eksis:

  1. bureaucratic polity tidad jauh beda dari bentuk pemerintahan olek derajat untuk decision making nasional daerah kekuatan sosial dan politik keluar pejabat tidak tinggi bagi modal kota.
  2. daerah utama untuk kompetisi politik tidak di negara yang besar dan kekuatan tidak dicapai terus memperbaiki bagi banyak gerakan. Daripada kekuatan penuh dicapai meluli kompetisi interpersonal di lingkaran elite di fisik yang tertutup dekat presiden.

tiga komponen dinamika politik terkait dengan birokrasi menggejala:

  1. komponen political competition. Adanya dikotomi administrasi dan politik dijelaskan dengan konteks yang spesifik. Decision making benar-benar diperankan oleh arena inti proses kompetisi politik yang dibangun diluar birokrasi sesungguhnya. Proses politik pada tingkat ini bisa sangat kompleks, namun bersifat informal di sekitar presiden.
  2. komponen actor. Struktur dikotomi dilihat dari sisi struktur formal, para pejabat yang memiliki kewenangan formal. Actor inilah komponen yang pertama.

Birokrasi sebagai komponen dari suatu pemerintah dari pusat sampai dengan daerah politik. Dinamika interaksi politik dengan birokrasi pada pemerintahan hasil pemilihan secara lansung. Namun, demokratisasi yang diusung dan diyakini akan membawa perubahan yang besar di Indonesia justru telah memanipulasi sektor publik melalui instrumen reformai administrasi yang sedang populer. Birokrasi yang selalu dituntut responsif sesungguhnya sedang mengalami tekanan elit politik.

Tulisan ini tidak menjelaskan jarak antara birokrasi dengan elit politik dalam dinamika administrasi publik di Indonesia. Justru tulisan ini akan menjelaskan adanya kedekatan elit politik dengan birokrasi. Pertautan keduanya terjalin dengan bungkus rapi dibalik mekanisme demokrasi.

Setiap kebijakan yang dirumuskan dianggap sah dan demokratis oleh DPR yang dianggap simbol institusi dan demokrasi. Pada sisi yang lain, Birokrasi melalui aparat negara begitu kuat menjaga nilai manajer yang diinternalisasikan dari nilai politiknya pada kebijakan tersebut,tanpa memperdulikan rakyat yang akan terkena dampak langsung. Sehingga yang tersisa di mata rakyat hanyalah kekuasaan dari birokrasi.

Pada konteks organisasi publik, para ekskutif melalui birokrasinya terbawa tuntutan reformasi administrasi seperti terwujudnya good governance. Hal ini dilakukan agar terhindar dari kegagalan implementasi dan nilai negatif birokrasi, termasuk tekanan global (IMF, World bank).

Dilema yang terjadi adalah, bahwa pada sisi birokrasi dituntut untuk selalu profesional dan responsif. Namun disisi lain, birokrasi ditekan oleh politisi melalui nilai-nilai dari paradigma baru tersebut.Oleh karena itu, setiap kebijakan yang dibuat selalu bias dengan kepentingan politik.

Dinamika komplek tersebut terlihat melalui politik bargaining dalam sektor publik yang memungkinkan terjadinya manipulasi dalam pengelolaan publim sektor. Reformasi birokrasi dimanfaatkan oleh kepentingan politik ditengah arus demokratisasi.

Sistem pemilu secara langsung yang diterapkan, memberikan implikasi pada ricuhnya kebijakan publik. Hal tersebut dapat terjadi di pusat maupun daerah (pemilihan kepala daerah secara langsung), contoh konkritnya dapat dilihat dari Pilkada secara langsung, perubahan dari partai attachment menjadi personal attachment dan terjadinya transformasi kepentingan elit menjadi kepentingan publik sehingga dapat menyebabkan pemerintah lamban dan tidak responsif, sehingga kemungkinan adanya bargaining dan cheating ada meski dalam era demokratisasi dan kampanye good-governance.

Birokrasi Pemerintahan (Bureaucratic Government)

Interaksi politik dan birokrasi terjadi begitu inten dalam dinamika pemerintahan kita. Interaksi yang terjadi bukan saja politisi memanfaatkan eksekutif, tapi eksekutif dan birokrasinya menghendaki hal tersebut sebagai bagian dari balas jasa kampanye pemilihan presiden langsung dan untuk mengamankan kekuasaannya dan hal tersebut dianggap hal yang normal, padahal didalamya terdapat manipulasi kepentingan rakyat yang berarti kepentingan demokrasi. Menurut Carino, sesungguhnya pemerintahan yang demikian sedang berusaha tampil secara demokratis, tetapi ada cara-cara yang tidak demokratis yang berakibat pada implikasi pemerintahan yang otoriter. Menurut kerangka yang dikembangkan Carino, pola interaksi tersebut secara teoritis akan menempatkan siapa dimana/dominasi birokrasi ataukah birokrasi sederajat dengan politisi, ada 2 bentuk model, yaitu:1. Executive ascendancy seperti bentuk dikotomi politik administrasi yang murni (Carino,1992:4), 2. Bureaucratic sublation of, or co-quality with the executive. Posisi ini sama dengan yang pertama, ada kemungkinan penyalahgunaan posisi,yang mengakibatkan birokrasi yang awalnya sama akan ada posisi yang lebih tinggi sehingga perlu dikontrol, sedangkan Peters dan Pierrs (2001:5) memahami pola interaksi politisi dengan birokrasi lebih mendalam (intensitas terinternalisasinya nilai-nilai demokrasi) dan terkesan overlapping (birokrasi dan politisi). Pada sisi yang ekstrim, mereka memetakan interaksi kedunya dalam bentuk tumpang tindih karena internalisasi nilai-nilai demokrasi, sehingga negara yang sedang melakukan konsolidasi demokrasi memungkinkan elit eksekutif memiliki akses dalam memainkan informasi dalam birokrasi.

Model birokrasi yang berada pada posisi intermediate ada 2 kategori, yaitu :

a. Kategori Village Life

Menjelaskan bahwa baik aparat atau elit politik memiliki latar belakang sosial ekonomi, kepentingan, dan pengalaman yang sama. Value normatif pada kategori ini adalah value yang memiliki orientasi pada efektivitas dan produktivitas lembaga.

b. Kategori Functional Village

Dari perumusan kebijakan / policy sampai dengan implementasinya / pelaksanaannya semuanya tertata rapi.

Model birokrasi yang dibahas disini adalah model Bureaucratic Government. Dalam model ini terjadi kompleksitas politik yang cukup tinggi pada tingkatan organisasi. Model ini juga sangat cocok dengan model Birokrasi Indonesia saat ini,dimana birokrasi negara kita sedang mengalami himpitan permainan elit politik. Para elit politik tersebut mendapatkan ruang yang lebih luas dalam wilayah birokrasi. Hampir semua pejabat di Indonesia dipilih berdasarkan politik. Sehingga kesannya, para pejabat tersebut lebih mementingkan kepentingan golongan atau partainya, daripada kepentingan rakyat. Karena model birokrasi yang seperti itulah, mengapa banyak kebijakan publik di Indonesia sekarang ini memiliki kecenderungan yang mungkin saja berpotensi menyesengsarakan rakyat.

Reformasi administrasi terjadi melalui tahapan yang kompleks dan melibabtkan banyak kepentingan, regulasi, dan aktivitas operasional antar beberapa institusi. Reformasi akan merubah tatanan yang telah ada sebelumnya dengan meredefinisi dan resistensi untuk menuju keberhasialn.

Ide ini di kemas dalam konsep yang telah menjadi Political Catchword di seluruh dunia, yaitu Governance. Secara umum konsep ini telah di gunakan karena terkait dengan fokus kapabilitas dari pemeerintah dengan interaksinya dan interaksinya antara pemerintah dengan masyarakat.

Sebagai contohnya adalah pemanfaatan konsep oleh IMF dan World Bank dalam rangka good governance. Dalam konteks urban politics, pemanfaatan konsep melalui Local Governance. Sedangkan dalam konteks policy analisis, di kembangkan melalui konsep tentang governance framework. Multi lever mengembangkannya dalam konteks interaksi antara lembaga lokal, regional, nasional, dan transnasional. Global Governance juga berkembang melalui level hubungan internasilonal. Dan yang terkhir adalah dalam konteks interaksi publik dan private, governance telah di gunakan untuk penelitian-penelitian tentang peran pemerintah dalam melakukan koordinasi di sektor ekonomi.

Intervensi Paradigma ini lebih di fokuskan pada konteks reformasi administrasi saja, yakni pada adopsi instrumen administratif tertentu yang kelihatan tehnis, namun dalam intervensi global dan demokrasi telah membuka ruang yang lebih besar bagi politisi untuk bermainm dalam wilayah birokrasi ini. Intervensi paradigma ini juga akan mempengaruhi interaksi kekuasaan antara birokrasi yang di lakukan oleh pelatyan publik dengan politisi pada berbagai tahapan.

Perkembangan ini terkait dengan krisis yang dialami oleh nega5a, yang bisa juga di katakan merupakan gagalnya suatu administrasi negara yang di terapkan dalam konteks global yang terjadi di negara transisi seperti Indonesia ini.

Dalam penerapan reformasi administrasi ini seringkali di manfaatkan oleh politisi untuk mengambil keuntungan. Sebagai contoh adalah NPM dan kasus BBM. Dalam kasus BBm, analisis lebih di fokuskan pada interaksi politik dan birokrasi. Kasus BBM ini merupakan kebijakn yang sarat dengan tuntutan responsibilitas dari organisasipublik yang mendelivernya dan nilai-nilai kolektif yang lebih luas yang menyangkut masyarakat miskin. Dari awal kebijakan ini memang di kendalikan secara politis. Peluang ini telah terbaca oleh politisi karena memanng organisasi publik sedang mengalami kesulitan untuk menggunakan instrumen baru ini. Ini merupakan permasalahan transfer nilai dari organissai privat ke organisasi publik.

Kenyataan yang seperti ini bisa mengakibatkan kegagalan. Seharusnya reformasi menghendaki pengelolaan yang sistematis. Komlpeksitas politik pada transisi demokrasi yang belum matang telah memutuskan link yang seharusnya terjadi atau di lakukan. Selebihnya, ada proses perubahan internal organisasi dan juga lingkup eksternal pada suatu negara yang memungkinkan terjadinya reformasi tersebut, tetapi belum sepenuhnya berubah. Dengan kenyataan lemahnya proses reformasi, maka politisi lebih leluasa memanfaatkan instrumen responsibilitas untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek.

Kenaikan harga BBM yang terus di paksakan dengan berbagai penolakan melalui demonstrasi-demontrasi menunjukan rendahnya akuntabilitas organisasi publik. Sementara akuntabilitas dalam reformasi administrasi merupakan instrumen yang penting. Dan lebih di tekankan lagi bahwa proses internalisasi instrument yang lemah akan memberikan peluang yang besar bagi politisi untuk memberikan suatu perfomance dari kebijakan tertentu.

Birokrasi kita sekarang ini masih sangat mengecewakan di dalam pelaksanaannya, bureaucratic goverment di Indonesia merupakan birokrasi publik yang mengalami kebingungan arah dan ini terjadi di tengah perubahan ke arah demokrasi. Dalam reformasi ini di manfaatkan oleh politisi melalui cara yang tidak demokratis, karena birokrasi tidak siap untuk berubah.

Rezim kita sekarang ini telah gagal menentukan kualitas yang tinggi dalam mengelola masalah publik. Padahal rezim seharusnya menentukan peraturan dasar dan kualitas dari interaksi antara bermacam-macam lembaga melalui kebenaran proses kebijakan dan gabungan nilai untuk mengelola masalah publik.

Melihat kenyataan tersebut,maka ada dua hal yang penting yaitu : reformasi administrasi yang menggunakan beberapa instrumen yang memiliki nilai kontradiktif satu sama lain dalam dirinya sendiri karena nilai dari organisasi publik dan privat yang digeneralisasikan ternyata telah membuka peluang permainan politik. Yang kedua yaitu adanya kenyataan bahwa demokrasi yang diinternalisasikan masih dalam tahapan demokrasi formal,prosedural yang memberikan ruang pada elit politik untuk memberi instrument pada organisasi publik.

Di indonesia antara politisi dan public servant tidak terjadi kerjasama yang baik dalam pemecahan masalah publik yang seharusnya secara demokratis dalam perumusan kebijakan dalam perumusan kebijakan dan responsivitas dalam implementasinya namun disini terjadi penipuan yang dilakukan publik servant dalam pelayanan publik. Hal ini ditandai dengan banyaknya lobi yang dilakukan eksekutif untuk kepentingan kebijakan.

Contohnya,kasus kenaikan harga BBM yang didukung oleh partai PKS dan PPP padahal dulunya menolak kenaikan BBM. Kedua partai tersebut setuju dengan kenaikan BBM karena untuk mempertahankan kekuasaan mereka yaitu demi pertimbangan kadernya yang mendapatkan posisi sebagai menteri.

Dengan demikian birokrasi kita sekarang ini di bawah kontrol politisi, politisi memainkan perannya untuk tidak melakukan perannya untuk tidak melakukan reaksi sama sekali terhadap resistensi yang di berikan oleh publik. Hal ini dapat merugikan reformasi administrasi kita, demokrasidan kesejahteraan rakyat miskin. Semua ini terungkap ketika negara kita melakukan pemilu secara langsung.

Seharusnya reformasi administrasi di pahami sebagai sistem administrasi yang lebih efektif untuk perubahan sosial, di mana instrument membawa persamaan politik, keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Jadi reformasi itu bukan sekedar masalah tehnis administratif. Karena apabila reformasi hanya pada tahapan tehnis, maka instrumen yang digunakan akan sangat mungkin bernuansa dan di terjemahkan oleh kepentingan elit yakni politik.

Logika tersebut di kembangkan dengan beberapa alasan, pertama ide reformasi selalu datang dari kepentingan eksternal dan bahkan global, kedua kepentingan global tersebut tidak selamanya berdimensi tunggal. Ketiga, adalah reformasi pastilah produk keputusan politik dan bukannya administratif belaka. Keempat, reformasi administrasi yang terbungkus dengan paradigma besar seperti demokratisasi dan globalisasi, lanngsung maupun tidak langsung mewarnai nilai kebijakan melalui lembaga presiden atau wakil presiden yang secara langsung berhadapan dengan rakyat. Jadi Reformasi administyrasi akan mempertemukan birokrasi, politisi, dan rakyat, serta pasar menjadi bagian stakeholder dalam reformasi administrasi.

Komentar:

Indonesia adalah negara yang menganut model pemerintahan Demokrasi, model pemerintahan demokrasi adalah model pemerintahan yang bebas mengeluarkan pendapat dan pemerintah mengutamakan suara rakyatnya di banding kepentingan pimpinannya. Tetapi pada kenyataanya di Indonesia tidak berjalan seperti teorinya. Justru pelayanan publik berjalan ketika demokrasi di singkirkan. Para pejabat sekarang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya daripada kepentingan publik atau rakyat. Padahal dulu pada jaman pemerintahan Soeharto pelayanan publik lebih baik. Hal itu di karenakan adanya pengawasan dan kontrol langsung oleh pemerintah pusat, dulu jika perintah itu tidak di laksanakan maka akan di tindak langsung.

Tidak ada komentar: