Rabu, 29 Oktober 2008

REFORMASI ADMINISTRASI DAN PARADOKS DEMOKRASI

Ini menjelaskan tentang perselingkuhan antara birokrasi dengan elit politik yang semakin inten. Melalui institusi Presiden dan Wakil Presiden dengan Wakil Rakyat, DPR. Kebijakan yang dirumuskan dianggap sah dan demokratis, hanya karena adanya keberadaan symbol institusi dari demokrasi, yakni DPR. Di sisi berhadapan birokrat begitu kuat menjaga motif nilai manajer departemen. Pada konteks organisasi public, eksekutif melalui birokrasinya terbawa tuntutan reformasi administrasi melalui paradigma pasar, sepert terwujudnya good governance. Ini dilakukan untuk menghindari kegagalan implementasi dan kritik keras terhadap birokrasi. Dilema yang muncul adalah birokrasi harus professional dan responsive tapi, pada sisi lain otonominya sebenarnya sedang ditekan oleh politisi melalui paradigma baru. Dugaan bahwa dinamika komplek terpotret melalui bargaining dalam sector public yang memungkunkan terjadi manipulasi dalam pengelolaan sector public. Reformasi politik, telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik ditengah arus demokratisasi, karena reformasi administrasi sering direduksi pada tatanan tehnis. Birokrasi sebenarnya tidak akan bisa netral.

Birokrasi dan jebakan politik

Orde baru melalui bureaucratic polity, tekanan kekuasaan dan dinamika dibangun sistematis di dalam menjalankan. Disini demokrasi dikesampingkan. Dua hal penting model bureaucratic polity eksis:

  1. bureaucratic polity tidad jauh beda dari bentuk pemerintahan olek derajat untuk decision making nasional daerah kekuatan sosial dan politik keluar pejabat tidak tinggi bagi modal kota.
  2. daerah utama untuk kompetisi politik tidak di negara yang besar dan kekuatan tidak dicapai terus memperbaiki bagi banyak gerakan. Daripada kekuatan penuh dicapai meluli kompetisi interpersonal di lingkaran elite di fisik yang tertutup dekat presiden.

tiga komponen dinamika politik terkait dengan birokrasi menggejala:

  1. komponen political competition. Adanya dikotomi administrasi dan politik dijelaskan dengan konteks yang spesifik. Decision making benar-benar diperankan oleh arena inti proses kompetisi politik yang dibangun diluar birokrasi sesungguhnya. Proses politik pada tingkat ini bisa sangat kompleks, namun bersifat informal di sekitar presiden.
  2. komponen actor. Struktur dikotomi dilihat dari sisi struktur formal, para pejabat yang memiliki kewenangan formal. Actor inilah komponen yang pertama.

Birokrasi sebagai komponen dari suatu pemerintah dari pusat sampai dengan daerah politik. Dinamika interaksi politik dengan birokrasi pada pemerintahan hasil pemilihan secara lansung. Namun, demokratisasi yang diusung dan diyakini akan membawa perubahan yang besar di Indonesia justru telah memanipulasi sektor publik melalui instrumen reformai administrasi yang sedang populer. Birokrasi yang selalu dituntut responsif sesungguhnya sedang mengalami tekanan elit politik.

Tulisan ini tidak menjelaskan jarak antara birokrasi dengan elit politik dalam dinamika administrasi publik di Indonesia. Justru tulisan ini akan menjelaskan adanya kedekatan elit politik dengan birokrasi. Pertautan keduanya terjalin dengan bungkus rapi dibalik mekanisme demokrasi.

Setiap kebijakan yang dirumuskan dianggap sah dan demokratis oleh DPR yang dianggap simbol institusi dan demokrasi. Pada sisi yang lain, Birokrasi melalui aparat negara begitu kuat menjaga nilai manajer yang diinternalisasikan dari nilai politiknya pada kebijakan tersebut,tanpa memperdulikan rakyat yang akan terkena dampak langsung. Sehingga yang tersisa di mata rakyat hanyalah kekuasaan dari birokrasi.

Pada konteks organisasi publik, para ekskutif melalui birokrasinya terbawa tuntutan reformasi administrasi seperti terwujudnya good governance. Hal ini dilakukan agar terhindar dari kegagalan implementasi dan nilai negatif birokrasi, termasuk tekanan global (IMF, World bank).

Dilema yang terjadi adalah, bahwa pada sisi birokrasi dituntut untuk selalu profesional dan responsif. Namun disisi lain, birokrasi ditekan oleh politisi melalui nilai-nilai dari paradigma baru tersebut.Oleh karena itu, setiap kebijakan yang dibuat selalu bias dengan kepentingan politik.

Dinamika komplek tersebut terlihat melalui politik bargaining dalam sektor publik yang memungkinkan terjadinya manipulasi dalam pengelolaan publim sektor. Reformasi birokrasi dimanfaatkan oleh kepentingan politik ditengah arus demokratisasi.

Sistem pemilu secara langsung yang diterapkan, memberikan implikasi pada ricuhnya kebijakan publik. Hal tersebut dapat terjadi di pusat maupun daerah (pemilihan kepala daerah secara langsung), contoh konkritnya dapat dilihat dari Pilkada secara langsung, perubahan dari partai attachment menjadi personal attachment dan terjadinya transformasi kepentingan elit menjadi kepentingan publik sehingga dapat menyebabkan pemerintah lamban dan tidak responsif, sehingga kemungkinan adanya bargaining dan cheating ada meski dalam era demokratisasi dan kampanye good-governance.

Birokrasi Pemerintahan (Bureaucratic Government)

Interaksi politik dan birokrasi terjadi begitu inten dalam dinamika pemerintahan kita. Interaksi yang terjadi bukan saja politisi memanfaatkan eksekutif, tapi eksekutif dan birokrasinya menghendaki hal tersebut sebagai bagian dari balas jasa kampanye pemilihan presiden langsung dan untuk mengamankan kekuasaannya dan hal tersebut dianggap hal yang normal, padahal didalamya terdapat manipulasi kepentingan rakyat yang berarti kepentingan demokrasi. Menurut Carino, sesungguhnya pemerintahan yang demikian sedang berusaha tampil secara demokratis, tetapi ada cara-cara yang tidak demokratis yang berakibat pada implikasi pemerintahan yang otoriter. Menurut kerangka yang dikembangkan Carino, pola interaksi tersebut secara teoritis akan menempatkan siapa dimana/dominasi birokrasi ataukah birokrasi sederajat dengan politisi, ada 2 bentuk model, yaitu:1. Executive ascendancy seperti bentuk dikotomi politik administrasi yang murni (Carino,1992:4), 2. Bureaucratic sublation of, or co-quality with the executive. Posisi ini sama dengan yang pertama, ada kemungkinan penyalahgunaan posisi,yang mengakibatkan birokrasi yang awalnya sama akan ada posisi yang lebih tinggi sehingga perlu dikontrol, sedangkan Peters dan Pierrs (2001:5) memahami pola interaksi politisi dengan birokrasi lebih mendalam (intensitas terinternalisasinya nilai-nilai demokrasi) dan terkesan overlapping (birokrasi dan politisi). Pada sisi yang ekstrim, mereka memetakan interaksi kedunya dalam bentuk tumpang tindih karena internalisasi nilai-nilai demokrasi, sehingga negara yang sedang melakukan konsolidasi demokrasi memungkinkan elit eksekutif memiliki akses dalam memainkan informasi dalam birokrasi.

Model birokrasi yang berada pada posisi intermediate ada 2 kategori, yaitu :

a. Kategori Village Life

Menjelaskan bahwa baik aparat atau elit politik memiliki latar belakang sosial ekonomi, kepentingan, dan pengalaman yang sama. Value normatif pada kategori ini adalah value yang memiliki orientasi pada efektivitas dan produktivitas lembaga.

b. Kategori Functional Village

Dari perumusan kebijakan / policy sampai dengan implementasinya / pelaksanaannya semuanya tertata rapi.

Model birokrasi yang dibahas disini adalah model Bureaucratic Government. Dalam model ini terjadi kompleksitas politik yang cukup tinggi pada tingkatan organisasi. Model ini juga sangat cocok dengan model Birokrasi Indonesia saat ini,dimana birokrasi negara kita sedang mengalami himpitan permainan elit politik. Para elit politik tersebut mendapatkan ruang yang lebih luas dalam wilayah birokrasi. Hampir semua pejabat di Indonesia dipilih berdasarkan politik. Sehingga kesannya, para pejabat tersebut lebih mementingkan kepentingan golongan atau partainya, daripada kepentingan rakyat. Karena model birokrasi yang seperti itulah, mengapa banyak kebijakan publik di Indonesia sekarang ini memiliki kecenderungan yang mungkin saja berpotensi menyesengsarakan rakyat.

Reformasi administrasi terjadi melalui tahapan yang kompleks dan melibabtkan banyak kepentingan, regulasi, dan aktivitas operasional antar beberapa institusi. Reformasi akan merubah tatanan yang telah ada sebelumnya dengan meredefinisi dan resistensi untuk menuju keberhasialn.

Ide ini di kemas dalam konsep yang telah menjadi Political Catchword di seluruh dunia, yaitu Governance. Secara umum konsep ini telah di gunakan karena terkait dengan fokus kapabilitas dari pemeerintah dengan interaksinya dan interaksinya antara pemerintah dengan masyarakat.

Sebagai contohnya adalah pemanfaatan konsep oleh IMF dan World Bank dalam rangka good governance. Dalam konteks urban politics, pemanfaatan konsep melalui Local Governance. Sedangkan dalam konteks policy analisis, di kembangkan melalui konsep tentang governance framework. Multi lever mengembangkannya dalam konteks interaksi antara lembaga lokal, regional, nasional, dan transnasional. Global Governance juga berkembang melalui level hubungan internasilonal. Dan yang terkhir adalah dalam konteks interaksi publik dan private, governance telah di gunakan untuk penelitian-penelitian tentang peran pemerintah dalam melakukan koordinasi di sektor ekonomi.

Intervensi Paradigma ini lebih di fokuskan pada konteks reformasi administrasi saja, yakni pada adopsi instrumen administratif tertentu yang kelihatan tehnis, namun dalam intervensi global dan demokrasi telah membuka ruang yang lebih besar bagi politisi untuk bermainm dalam wilayah birokrasi ini. Intervensi paradigma ini juga akan mempengaruhi interaksi kekuasaan antara birokrasi yang di lakukan oleh pelatyan publik dengan politisi pada berbagai tahapan.

Perkembangan ini terkait dengan krisis yang dialami oleh nega5a, yang bisa juga di katakan merupakan gagalnya suatu administrasi negara yang di terapkan dalam konteks global yang terjadi di negara transisi seperti Indonesia ini.

Dalam penerapan reformasi administrasi ini seringkali di manfaatkan oleh politisi untuk mengambil keuntungan. Sebagai contoh adalah NPM dan kasus BBM. Dalam kasus BBm, analisis lebih di fokuskan pada interaksi politik dan birokrasi. Kasus BBM ini merupakan kebijakn yang sarat dengan tuntutan responsibilitas dari organisasipublik yang mendelivernya dan nilai-nilai kolektif yang lebih luas yang menyangkut masyarakat miskin. Dari awal kebijakan ini memang di kendalikan secara politis. Peluang ini telah terbaca oleh politisi karena memanng organisasi publik sedang mengalami kesulitan untuk menggunakan instrumen baru ini. Ini merupakan permasalahan transfer nilai dari organissai privat ke organisasi publik.

Kenyataan yang seperti ini bisa mengakibatkan kegagalan. Seharusnya reformasi menghendaki pengelolaan yang sistematis. Komlpeksitas politik pada transisi demokrasi yang belum matang telah memutuskan link yang seharusnya terjadi atau di lakukan. Selebihnya, ada proses perubahan internal organisasi dan juga lingkup eksternal pada suatu negara yang memungkinkan terjadinya reformasi tersebut, tetapi belum sepenuhnya berubah. Dengan kenyataan lemahnya proses reformasi, maka politisi lebih leluasa memanfaatkan instrumen responsibilitas untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek.

Kenaikan harga BBM yang terus di paksakan dengan berbagai penolakan melalui demonstrasi-demontrasi menunjukan rendahnya akuntabilitas organisasi publik. Sementara akuntabilitas dalam reformasi administrasi merupakan instrumen yang penting. Dan lebih di tekankan lagi bahwa proses internalisasi instrument yang lemah akan memberikan peluang yang besar bagi politisi untuk memberikan suatu perfomance dari kebijakan tertentu.

Birokrasi kita sekarang ini masih sangat mengecewakan di dalam pelaksanaannya, bureaucratic goverment di Indonesia merupakan birokrasi publik yang mengalami kebingungan arah dan ini terjadi di tengah perubahan ke arah demokrasi. Dalam reformasi ini di manfaatkan oleh politisi melalui cara yang tidak demokratis, karena birokrasi tidak siap untuk berubah.

Rezim kita sekarang ini telah gagal menentukan kualitas yang tinggi dalam mengelola masalah publik. Padahal rezim seharusnya menentukan peraturan dasar dan kualitas dari interaksi antara bermacam-macam lembaga melalui kebenaran proses kebijakan dan gabungan nilai untuk mengelola masalah publik.

Melihat kenyataan tersebut,maka ada dua hal yang penting yaitu : reformasi administrasi yang menggunakan beberapa instrumen yang memiliki nilai kontradiktif satu sama lain dalam dirinya sendiri karena nilai dari organisasi publik dan privat yang digeneralisasikan ternyata telah membuka peluang permainan politik. Yang kedua yaitu adanya kenyataan bahwa demokrasi yang diinternalisasikan masih dalam tahapan demokrasi formal,prosedural yang memberikan ruang pada elit politik untuk memberi instrument pada organisasi publik.

Di indonesia antara politisi dan public servant tidak terjadi kerjasama yang baik dalam pemecahan masalah publik yang seharusnya secara demokratis dalam perumusan kebijakan dalam perumusan kebijakan dan responsivitas dalam implementasinya namun disini terjadi penipuan yang dilakukan publik servant dalam pelayanan publik. Hal ini ditandai dengan banyaknya lobi yang dilakukan eksekutif untuk kepentingan kebijakan.

Contohnya,kasus kenaikan harga BBM yang didukung oleh partai PKS dan PPP padahal dulunya menolak kenaikan BBM. Kedua partai tersebut setuju dengan kenaikan BBM karena untuk mempertahankan kekuasaan mereka yaitu demi pertimbangan kadernya yang mendapatkan posisi sebagai menteri.

Dengan demikian birokrasi kita sekarang ini di bawah kontrol politisi, politisi memainkan perannya untuk tidak melakukan perannya untuk tidak melakukan reaksi sama sekali terhadap resistensi yang di berikan oleh publik. Hal ini dapat merugikan reformasi administrasi kita, demokrasidan kesejahteraan rakyat miskin. Semua ini terungkap ketika negara kita melakukan pemilu secara langsung.

Seharusnya reformasi administrasi di pahami sebagai sistem administrasi yang lebih efektif untuk perubahan sosial, di mana instrument membawa persamaan politik, keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Jadi reformasi itu bukan sekedar masalah tehnis administratif. Karena apabila reformasi hanya pada tahapan tehnis, maka instrumen yang digunakan akan sangat mungkin bernuansa dan di terjemahkan oleh kepentingan elit yakni politik.

Logika tersebut di kembangkan dengan beberapa alasan, pertama ide reformasi selalu datang dari kepentingan eksternal dan bahkan global, kedua kepentingan global tersebut tidak selamanya berdimensi tunggal. Ketiga, adalah reformasi pastilah produk keputusan politik dan bukannya administratif belaka. Keempat, reformasi administrasi yang terbungkus dengan paradigma besar seperti demokratisasi dan globalisasi, lanngsung maupun tidak langsung mewarnai nilai kebijakan melalui lembaga presiden atau wakil presiden yang secara langsung berhadapan dengan rakyat. Jadi Reformasi administyrasi akan mempertemukan birokrasi, politisi, dan rakyat, serta pasar menjadi bagian stakeholder dalam reformasi administrasi.

Komentar:

Indonesia adalah negara yang menganut model pemerintahan Demokrasi, model pemerintahan demokrasi adalah model pemerintahan yang bebas mengeluarkan pendapat dan pemerintah mengutamakan suara rakyatnya di banding kepentingan pimpinannya. Tetapi pada kenyataanya di Indonesia tidak berjalan seperti teorinya. Justru pelayanan publik berjalan ketika demokrasi di singkirkan. Para pejabat sekarang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya daripada kepentingan publik atau rakyat. Padahal dulu pada jaman pemerintahan Soeharto pelayanan publik lebih baik. Hal itu di karenakan adanya pengawasan dan kontrol langsung oleh pemerintah pusat, dulu jika perintah itu tidak di laksanakan maka akan di tindak langsung.

resume,kuliah umum

Pada hari jumat, tanggal 14 maret 2008, kami mendapat tugas untuk membuat resume dari kuliah yang disampaikan perwakilan DPRD Sleman yang bernama Richard Riwoe, yang berasal dari fraksi Partai Demokrat Damai Sejahtera. Richard merupakan pimpinan fraksi partai democrat damai sejahtera untuk periode 2007-2009 yang pada periode pemilihan gubernur tahun ini di NTT, dia dicalonkan sebagai Cagub untuk periode mendatang. Richard merupakan orang yang teguh dalam hidupnya, mulai dari SMU sampai dia menjadi anggota dewan, Richard sudah mandiri dengan melakukan pembiayaan sekolahnya dengan mencari biaya sendiri. Richard lulus S1 dari teknik sipil, yang oleh sebab itu dia di tempatkan sebagai pimpinan komisi pembangunan di Sleman. Dalam kuliahnya, Richard memberikan informasi tentang implementasi kebijakan yang di lakukan di Sleman.

Tugas pertama Richard bersama rekan-rekannya setelah menjabat sebagai anggota dewan yakni membuat Perda tentang kost-kostan dan perda tentang minuman keras yang lebih tepatnya tentang perda pelarangan penjualan miras yang telah di jual bebas di masyarakat secara terang-terangan. Perda-perda tersebut merupakan permasalahan social yang terjadi di kota jogja beberapa tahun terakhir. Richard juga mengungkapkan bahwa korupsi di dunia politik sering dengan cara yang halus ataupun kasar. Untuk cara yang halus, maka transaksi korupsi tersebut di lakukan dengan pendekatan-pendekatan yang di tujukan kepada penguasa atau pemimpin yang sedang menjabat dan dia mempunyai wewenang dalam hubungannya dengan proyek. Apabila cara halus tidak dapat terlaksana, maka cara yang kasar akan di laksanakan yaitu dengan cara membuat isu-isu yang tidak baik kepada pimpinan yang sedang menjabat. Cara-cara seperti itu yang membuat korupsi sulit untuk di tumpas.

Richard memberikan beberapa criteria untuk menjadi seorang pemimpin yang mampu mengubah bangsa ini, criteria tersebut seperti orang yang kreatif dan pandai dalam melakukan diplomasi dengan baik. Seperti Richard, dia berbeda denga calon-calon yang lain yakni dia melakukan kampanye dalam pemilihan dewan kemarin dengan usaha dia sendiri dan dia tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Richard mengkatagorikan umur yakni antara 17 tahun sampai 50 tahun adalah masa yang produktif, dan pada umur 35 tahun adalah letak di mana seseorang sudah benar-benar matang untuk melakukan perubahan serta mempunyai idiologi yang masih semangat untuk mewujudkannya. Seperti grafik yang di ungkapkannya,

Seorang pemimpin yang mampu mengubah bangsa ini ialah pemimpin yang harus berani dalam membuat keputusan atau kebijakan sesuai dengan keadaan bangsa ini. Untuk bisa menjadi seorang pembuat kebijakanyang pandai, yang mana kebijakan tersebut menyangkut masyarakat luas, kita harus mulai dengan pandai membuat kebijakan untuk diri kita sendiri. Sebagi contoh, kita harus bias menentukan kemana kita setelah lulus kuliah. Kita harus punya focus tujuan yang jelas. Selain itu kita juga harus tegas. Ini menjadi sesuatu yang penting, dan ini harus kita mulai pada saat kita masih muda. Karena apa? Karena pada usia muda, kita masih memiliki gairah untuk menentukan masa depan. Dalam teori psikologi, usia 17-35 tahun merupakan usia emas seseorang untuk dapat mencapai sesuatu yang diinginkan. Untuk itu, selagi masih muda kita harus tegas dalam membuat keputusan yang akan menentukan masa depan kita. Setelah kita pandai dalam hal itu, baru kita bias menuju ke arah pembuatan kebijakan yang menyangkut orang lain.

problema pembangunan

PENDAHULUAN

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan di perdesaan menghadapi berbagai masalah yang tidak sederhana. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, lebih kurang 51 ribu desa merupakan desa perdesaan, dan sekitar 20.633 desa diantaranya tergolong miskin. Kemiskinan yang diderita masyarakat desa, khususnya petani dan nelayan tradisional, antara lain akibat pengurasan asset perdesaan selama ini. Berbagai pemberdayaan perekonomian rakyat di perdesaan kurang berhasil, dan kemiskinan itu sudah diterimanya sebagai warisan yang turun temurun. Ada kondisi yang dilematis, muncul perilaku ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraannya sendiri. Kreativitas dan prakarsa masyarakat rendah. Itulah persoalan yang rata-rata terjadi di perdesaan.[1]

Pembangunan dan perkembangan perdesaan jauh tertinggal dibandingkan dengan perkotaan. Sentra-sentra kegiatan ekonomi utama perdesaan yang berbasis pada agrobisnis dan pemanfaatan sumber daya alam belum berkembang secara optimal. Sektor ekonomi lainnya, seperti industri kecil dan kerajinan rakyat masih sangat terbatas. Sarana dan prasarana perdesaan, terutama jaringan jalan, air bersih den sanitasi sangat tidak memadai. Selain itu sarana dan prasarana pengairan yang telah dibangun serta ditangani pemerintah dalam kondisi kurang terpelihara.

Dapat diambil contoh Kabupaten Gunungkidul yang merupakan salah satu dari 5 kabupaten/kota di Propinsi D.I. Yogyakarta. Daerah Gunungkidul identik dengan wilayah pedesaan. Persoalan yang dihadapi Gunungkidul sampai dengan saat ini adalah problema kemiskinan. Masalah kemiskinan di Gunungkidul antara lain ditandai oleh jumlah penduduk dan keluarga yang masuk dalam kategori miskin masih cukup tinggi (28,06% penduduk masuk kategori penduduk miskin). Selain itu, kemiskinan bias dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2006 hanya sebesar 69,5.

Gambaran demografis penduduk Gunungkidul, dari total 759.859 jiwa penduduknya, lebih dari 50% hanya berpendidikan Sekolah Dasar, dan ada sekitar 6,3% dari total penduduk merupakan warga yang masih buta huruf. Sebanyak 69% penduduk Gunungkidul sebagai petani dan peternak, 18% berkecimpung dalam sector perdagangan, usaha dan jasa, sisanya merupakan kelompok buruh, karyawan, dll.[2]

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.[3]

IDENTIFIKASI PENYEBAB MASALAH

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.[4]

Beberapa faktor utama penyebab semakin terpuruknya kondisi ekonomi masyarakat desa itu (petani, nelayan, perajin, peternak dan buruh):

1. Kuatnya posisi pedagang perantara yang didukung oleh birokrat perdesaan yang juga turut menikmati sebagian keuntungan dari mekanisme pasar yang tidak berpihak pada petani.

2. Seluruh pasar baik lokal, regional maupun eksport umumnya telah dikuasai pedagang dengan distribusi income yang semakin tidak adil bagi produsen di perdesaan.

3. Bantuan-bantuan pemerintah seperti JPS sangat kecil yang benar-benar sampai kepada masyarakat yang menjadi target.

4. Tingkat pendidikan masyarakat desa yang relatif rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam upaya meningkatkan teknologi untuk mengefisiensikana kegiatan ekonomi mereka.

Selain itu seseorang bisa menjadi miskin karena tidak mempunyai hal berikut ini :

1. Akses, yang memungkinkan seseorang untuk menjangkau wilayah lapangan pekerjaan.

2. skill, yang memungkinkan seseorang untuk dapat menghasilkan suatu aktivitas yang digunakan dalam memperoleh nafkah atau melaksanakan suatu aktivitas pekerjaan tersebut.

3. Modal, yang memungkinkan seseorang untuk berwiraswasta, untuk mendukung dalam pemenuhan kebutuhan suatu aktivitas pekerjaan.

4. Proteksi, yang memungkinkan seseorang memperoleh perlindungan maupun pengakuan dari pihak berwenang atas pekerjaan yang dilakukan tersebut.

Dapat dijelaskan dengan bagan perangkap kemiskinan yang dipaparkan oleh R. Chamber seperti dibawah ini:

è Lemah fisik dapat dijelaskan sebagai berikut: Selama ini pembangunan fisik tanpa pengikutsertaan partisipasi masyarakat. Pola demikian paling mungkin menjadi penyebab rendahnya kreativitas dan prakarsa masyarakat, bahkan "membudayanya" perilaku ketergantungan itu tadi. Apalagi pembangunan fisik yang dilakukan tanpa dibarengi pengembangan SDM. Ditambah lagi dengan pembangunan perdesaan belum didasarkan pada sisi kebutuhan saja, sehingga efisiensinya tidak optimal. Permasalahan yang juga serius adalah kerusakan lingkungan di perdesaan semakin meluas. Hal itu akibat pemanfaatan sumber daya alam serta usaha agrobisnis yang kurang didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi, penyebab terjadinya berbagai macam bencana yang menimpa masyarakat perdesaan. Dalam segi produktivitas, harus diakui bahwa penguasaan teknologi dan SDM belum memadai, sehingga produktivitas petani masih rendah, tidak mampu menghasilkan produk olahan dan komoditas primer pertanian yang bernilai tambah lebih tinggi.

è Isolasi dapat dijelaskan sebagai berikut: Sebenarnya banyak bidang usaha ekonomi kerakyatan yang bersifat massal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat desa sendiri, tetapi kenyataan masyarakat perdesaan hanya menjadi penonton di luar arena. Karena bidang-bidang itu pun ditangani oleh para pengusaha besar. Padahal seharusnya pengusaha besar itu dapat berperan dalam pembinaan dan pemasarannya saja. Tetapi pada kenyataannya masyarakat desa terisolasi dengan keberadaan pengusaha besar tersebut sehingga sulit untuk mengembangkan usaha pada bidang-bidang tertentu.

Dari penjelasan kedua faktor tersebut sehingga mengakibatkan timbulnya kemiskinan (miskin), kemiskinan tersebut akan berpeluang menimbulkan kerentanan (rentan) terhadap berbagai hal-hal negatif, misal: kelaparan, kebodohan, dan lain-lain, hingga sampai pada kematian. Sehingga kemungkinan terburuk akan membuat seseorang tidak berdaya dalam segi apapun untuk bangkit dari sebuah keterpurukan.

REKOMENDASI

Beberapa rekomendasi dalam upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara antara lain: Pertama, mengingat sifat kemiskinan di Indonesia, dengan memusatkan perhatian pada beberapa bidang prioritas dapat diperoleh keberhasilan dalam melawan kemiskinan dan rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil minyak dan gas bumi, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan meraih keuntungan dari peningkatan penerimaan negara berkat melonjaknya harga minyak dan pengurangan subsidi BBM. Ketiga, Indonesia bisa memetik manfaat yang lebih besar lagi dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang masih terus berlangsung.[5]

Dapat didukung dengan berbagai rekomendasi alternatif kebijakan yang bisa membuat perubahan-perubahan tersebut dapat efektif mengurangi kemiskinan:

Ø Pertama, seiring dengan pertumbuhan, perekonomian Indonesia diharapkan berubah dari perekonomian yang mengandalkan sektor pertanian menjadi perekonomian yang akan lebih banyak mengandalkan sektor jasa dan industri. Prioritas untuk membuat pertumbuhan tersebut berfaedah bagi masyarakat miskin adalah iklim investasi yang lebih ramah di pedesaan, terutama melalui jaringan jalan pedesaan yang lebih baik.

Ø Kedua, seiring menguatnya demokrasi, pemerintah diharapkan berubah dari penyedia sebagian besar layanan oleh pusat menjadi pemerintah yang akan lebih banyak mengandalkan pemerintah daerah. Untuk membuat layanan bermanfaat bagi masyarakat miskin, prioritasnya adalah peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan insentif yang lebih baik bagi penyedia layanan.

Ø Ketiga, seiring dengan integrasi Indonesia kedalam dunia internasional, sistem perlindungan sosialnya dimodernisir sehingga secara sosial Indonesia menjadi setara dan kompetitif di bidang ekonomi. Prioritas untuk membuat pengeluaran pemerintah bermanfaat bagi masyarakat miskin adalah bergeser dari intervensi pasar untuk komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin (seperti BBM dan beras) menjadi bantuan pendapatan yang terarah bagi rumah tangga miskin, dan menggunakan kelonggaran fiskal untuk memperbaiki layanan yang penting seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi.[6]

KESIMPULAN

Dari data yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih rentan dengan kemiskinan terutama di wilayah pedesaan. Masalah kemiskinan pedesaan yang terus ada dan bersifat khas dianggap sebagai warisan nenek moyang secara turun-temurun oleh mayoritas masyarakat miskin pedesaan, sehingga dibutuhkan berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang berorientasi masa depan.

Digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan fiskal untuk menanganinya, Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih kemajuan yang berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Prioritas penanganan kemiskinan tersebut dapat dimulai dari berbagai tindakan diperlukan di beberapa bidang untuk penanganan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu (i) mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan, (ii) memperkuat kemampuan sumber daya manusia, dan (iii) mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan juga (iv) memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.[7] Terlaksananya beberapa prioritas tersebut diharapkan mampu mengentaskan Indonesia dari kemiskinan dan menjadikan wilayah pedesaan Indonesia senantiasa memperoleh lebih kemakmuran.



[1] www.worldbank.org

[2] Maarif, A. Syafii. 2007. Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Maarif Institute.

[3] Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

[4] Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

[5] www.worldbank.org

[6] www.worldbank.org

[7] www.worldbank.org

KEJAHATAN KORPORASI

Latar Belakang

Berdasarkan isu-isu penting dalam berbagai film dokumenter menjelaskan tentang fakta berbagai permasalahan kemiskinan dan keterpurukan yang menimpa bangsa Indonesia. Kemiskinan dan keterpurukan di Indonesia sudah ada sejak masa perjuangan bangsa Indonesia terdahulu, dimana bangsa Indonesia mengalami berbagai penindasan dari kaum penjajah, menjadi sasaran para kaum penjajah untuk mempekerjakan rakyat Indonesia sebagai buruh lembur dengan upah kecil, penguasaan tanah rakyat secara paksa, pembelian hasil alam Indonesia dengan harga rendah, perampasan harkat dan martabat bangsa Indonesia pada umumnya. Pada masa G30S-PKI para tokoh nasionalis dan pejuang bangsa Indonesia pemberontak kaum penjajah dibunuh secara kejam. Menjadi bukti keterpurukan bangsa Indonesia di mata dunia.

Kemunduran bangsa Indonesia merupakan dampak dari rezim penguasa sebelumnya, dimana pada saat lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden Indonesia digantikan oleh Soeharto sebagai presiden Indonesia yang baru. Tabiat Presiden Soeharto yang menggambarkan kemajuan bangsa Indonesia dengan kepemimpinan otoriternya dan menjalankan kerjasama dengan negara adikuasa Amerika Serikat dan Inggris, memberikan bukti memajukan pertanian Indonesia, pembelian berbagai perlengkapan militer, nilai rupiah atas dolar berada antara di bawah Rp 2.000,- dan sebagainya, hingga Indonesia disebut sebagai calon Macan Asia pada masanya. Namun ternyata dibalik itu lambat laun berdampak buruk terhadap bangsa Indonesia, karena menyimpan hutang luar negeri yang sangat besar jumlahnya. Disamping pihak Soeharto, terdapat juga para pejabat elite politik Indonesia yang korup, pembayaran pajak yang pada kenyataannya dibebankan kepada rakyat ternyata sebagian besar bukan untuk pembayaran hutang negara melainkan masuk kantong keluarga Soeharto. Dalam fakta yang terungkap 1/3 utang Indonesia atas World Bank sebesar 8 Milyar Dolar berada ditangan Soeharto untuk kepentingan pribadi, hingga pada akhirnya pada tahun 1997 Soeharto lengser dengan berhasil merampok 15 Milyar Dolar selama masa kepemimpinannya, sehingga menjadi tanggungan utang luar negeri Indonesia di era selanjutnya yang dibebankan kepada rakyat Indonesia.

Pembahasan Masalah

Permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia disebabkan oleh pelaku elite politik Indonesia terdahulu yang cenderung kurang bertanggung jawab dengan kecenderungan korup berdampak terhadap rakyat Indonesia hingga saat ini dan sulit terpecahkan. Indonesia pada dasarnya mempunyai potensi lebih yang dapat dikembangkan, pada kenyataannya kekayaan di Indonesia ternyata bertolak belakang terhadap kemajuan namun lebih akrab pada kemiskinan karena tidak ada karakter di Indonesia. Bisa dilihat banyaknya pengusaha kaya yang menghambur-hamburkan uang untuk mengadakan suatu macam pesta perayaan, tetapi di lain pihak di luar sana masih terdapat kurang lebih 70 juta rakyat miskin di Indonesia yang membutuhkan santunan, sehingga terdapat kesenjangan sosial. Selain itu permasalahan tempat tinggal tidak layak huni, sanitasi kumuh, penghasilan dan pengeluaran tidak seimbang merupakan masalah yang seringkali menimpa rakyat Indonesia.

Fenomena yang terjadi di Indonesia, miskin makin miskin, pelayanan publik tidak maksimal karena dana lebih dialokasikan untuk pembayaran hutang negara akibat ulah elite politik korup terdahulu. Kaya makin kaya karena terdapat investasi tinggi di Indonesia dan upah buruh relatif murah sehingga menarik minat investor asing untuk menguasai pangsa pasar di Indonesia. Etika perusahaan di Indonesia tidak dapat diterapkan dengan baik, karena pemerintah sendiri (elite politik) mengatakan “buruh murah” untuk menarik investor asing, sehingga banyak pengangguran terutama bagi investor dalam negeri. Seperti pada kenyataannya kasus beberapa perusahaan asing Nike, Reebok, Adidas, serta GAP yang mempekerjakan buruh Indonesia bisa lebih dari 24 jam/hari tergantung target pesanan. Tidak seimbang dengan upah kerja yang diterima, disamping itu juga para pekerja Indonesia juga rentan terhadap bahaya kekerasan karena kecenderungan tidak menghargai hak berserikat dan hak-hak pekerja.

Penajaman Masalah

Berpedoman Dependency Theory (Teori Ketergantungan) dijelaskan bahwa ketergantungan adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara lain. Negara tersebut tersebut hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Konsep ketergantungan memperlihatkan bahwa situasi internal suatu negara sebagai bagian dari ekonomi dunia. Imperialisme merupakan akar dari ketergantungan karena surplus ekonomi negara terjajah dibawa ke negara imperialist. Ekspansi kaum kapitalis dunia menciptakan ketergantungan karena menciptakan pasar yang monopolistik, misal: World Bank dan IMF menerapkan hutang untuk membantu penerapan kebijakan terutama kepada negara berkembang, privatisasi BUMN oleh IMF dan World Bank.

Pemikiran Paul Baran

  • Hubungan antara negara maju dengan negara berkembang menyebabkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju
  • Sistem ekonomi kapitalis & imperialisme menyebabkan keterbelakangan negara berkembang.
  • Surplus ekonomi dari industri kapitalis asing di negara berkembang dibawa ke negara maju.
  • Kapitalis asing sering menggandeng tuan tanah/penguasa & pedagang di negara berkembang.
  • Pemerintah biasanya mensuport kapitalis asing
  • Rakyat kecil dirugikan.

Pemikiran Raul Prebisch

  • Teori pembagian kerja secara Internasional, yang didasarkan pada teori keunggulan komparatif (comparative advantage) telah menyebabkan negara di dunia melakukan spesialisasi produksinya.
  • Negara pusat (center) menghasilkan barang industri, sedangkan negara pinggiran (periphery) memproduksi hasil pertanian.
  • Ada penurunan nilai tukar komoditi pertanian terhadap barang industri
  • Terjadi defisit neraca perdagangan di negara pinggiran.
  • Negara industri melakukan proteksi terhadap hasil pertanian, sehingga sulit bagi negara pertanian menjual hasil produksinya.
  • Kemajuan teknologi telah menyebabkan negara pusat menghasilkan bahan mentah sintesis sehingga mengurangi import dari negara pertanian (pinggiran).
  • Ketika income masyarakat di negara pertanian meningkat akan menambah permintaan akan barang-barang industri

Monopoli teknologi di negara maju menyebabkan negara berkembang harus membayar sewa, yakni sewa hak paten. Ini berarti ada surplus ekonomi dari negara berkembang ke negara maju.

Beberapa penjelasan tersebut berbanding lurus dengan fakta yang menggambarkan permasalahan di Indonesia. Akibat ulah dari para elite politik terdahulu membuat Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai kecenderungan tergantung terhadap negara maju ataupun para investor asing dengan kewajiban hutang yang harus dilunasi dikemudian hari terutama dibebankan oleh rakyat Indonesia. Hutang yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan memajukan kualitas pelayanan publik, tapi kenyataannya hanya menjadi jatah korup para elite politik yang tidak bertanggung jawab dalam mengemban tugasnya.

Pada dasarnya Indonesia mempunyai kekayaan potensi mineral yang dapat dimanfaatkan namun atas tidak adanya karakter yang dapat dikembangkan oleh bangsa Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kecenderungan ketergantungan dengan negara maju sehingga investasi yang seharusnya dimiliki Indonesia seutuhnya, hanya dimanfaatkan oleh investor asing yang mengakibatkan Indonesia semakin mengalami keterpurukan dan hanya dibebankan sebagai aset bagi negara maju untuk menguasai investasi yang dimiliki Indonesia.

Akibat dari beberapa permasalahan terdahulu tersebut yang menyebabkan Indonesia sulit terlepas dari belenggu kemiskinan dan keterpurukan hingga saat ini karena warisan kesalahan penerapan sistem ekonomi dan kurangnya pertanggung jawaban para elite politik Indonesia yang bermasalah terdahulu.

Kesimpulan

Berdsarkan isu-isu penting yang telah dibahas menjelaskan dunia mengalami bangkitnya imperialisme ekonomi yang dilancarkan negara-negara Barat, negara-negara eks kolonialis, lewat apa yang dinamakan globalisasi. IMF dan World Bank adalah dua institusi pilar rekayasa globalisasi. Dimana negara terjajah semakin terpuruk atas kekuasaan negara penjajah. Investasi dalam negeri yang semestinya dapat dinikmati seutuhnya oleh rakyat, namun pada kenyataannya hanya menimbulkan kesengsaraan akibat ulah penguasaan para investor asing yang lebih parahnya didukung oleh pemerintah sehingga berdampak buruk pada rakyat yang cenderung disebut sebagai “buruh murah”. Ketergantungan ekonomi menjadi akar surplus ekonomi yang dimiliki negara berkembang lebih menjadikan aset bagi negara imperialist. Potensi yang dimiliki negara berkembang tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena berbagai kebijakan yang diterapkan oleh IMF dan World Bank cenderung merugikan negara tersebut.

Dalam usaha pengentasan Indonesia dari kemiskinan dan keterpurukan dapat diambil beberapa alternatif tindakan antara lain: (1) Renegosiasi terhadap pembayaran hutang luar negeri harus dilakukan dengan pertimbangan selain sebagian dari hutang luar negeri merupakan hutang yang tidak rasional, juga bila dihitung kembali, seluruh cicilan yang telah dibayar selama ini sudah jauh melampaui jumlah hutang yang pernah diambil. (2) Kepemimpinan saat ini harus berani merombak total kebijakan ekonomi Indonesia; dari kebijakan sekarang yang memuja investor asing menjadi kebijakan ekonomi yang pro-rakyat dan pro-pelaku usaha dalam negeri.

Selasa, 16 September 2008

Problema Pembangunan Pedesaan

PENDAHULUAN

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan di perdesaan menghadapi berbagai masalah yang tidak sederhana. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, lebih kurang 51 ribu desa merupakan desa perdesaan, dan sekitar 20.633 desa diantaranya tergolong miskin. Kemiskinan yang diderita masyarakat desa, khususnya petani dan nelayan tradisional, antara lain akibat pengurasan asset perdesaan selama ini. Berbagai pemberdayaan perekonomian rakyat di perdesaan kurang berhasil, dan kemiskinan itu sudah diterimanya sebagai warisan yang turun temurun. Ada kondisi yang dilematis, muncul perilaku ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraannya sendiri. Kreativitas dan prakarsa masyarakat rendah. Itulah persoalan yang rata-rata terjadi di perdesaan.

Pembangunan dan perkembangan perdesaan jauh tertinggal dibandingkan dengan perkotaan. Sentra-sentra kegiatan ekonomi utama perdesaan yang berbasis pada agrobisnis dan pemanfaatan sumber daya alam belum berkembang secara optimal. Sektor ekonomi lainnya, seperti industri kecil dan kerajinan rakyat masih sangat terbatas. Sarana dan prasarana perdesaan, terutama jaringan jalan, air bersih den sanitasi sangat tidak memadai. Selain itu sarana dan prasarana pengairan yang telah dibangun serta ditangani pemerintah dalam kondisi kurang terpelihara.

Dapat diambil contoh Kabupaten Gunungkidul yang merupakan salah satu dari 5 kabupaten/kota di Propinsi D.I. Yogyakarta. Daerah Gunungkidul identik dengan wilayah pedesaan. Persoalan yang dihadapi Gunungkidul sampai dengan saat ini adalah problema kemiskinan. Masalah kemiskinan di Gunungkidul antara lain ditandai oleh jumlah penduduk dan keluarga yang masuk dalam kategori miskin masih cukup tinggi (28,06% penduduk masuk kategori penduduk miskin). Selain itu, kemiskinan bias dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2006 hanya sebesar 69,5.

Gambaran demografis penduduk Gunungkidul, dari total 759.859 jiwa penduduknya, lebih dari 50% hanya berpendidikan Sekolah Dasar, dan ada sekitar 6,3% dari total penduduk merupakan warga yang masih buta huruf. Sebanyak 69% penduduk Gunungkidul sebagai petani dan peternak, 18% berkecimpung dalam sector perdagangan, usaha dan jasa, sisanya merupakan kelompok buruh, karyawan, dll.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

IDENTIFIKASI PENYEBAB MASALAH

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Beberapa faktor utama penyebab semakin terpuruknya kondisi ekonomi masyarakat desa itu (petani, nelayan, perajin, peternak dan buruh):

1. Kuatnya posisi pedagang perantara yang didukung oleh birokrat perdesaan yang juga turut menikmati sebagian keuntungan dari mekanisme pasar yang tidak berpihak pada petani.

2. Seluruh pasar baik lokal, regional maupun eksport umumnya telah dikuasai pedagang dengan distribusi income yang semakin tidak adil bagi produsen di perdesaan.

3. Bantuan-bantuan pemerintah seperti JPS sangat kecil yang benar-benar sampai kepada masyarakat yang menjadi target.

4. Tingkat pendidikan masyarakat desa yang relatif rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam upaya meningkatkan teknologi untuk mengefisiensikana kegiatan ekonomi mereka.

Selain itu seseorang bisa menjadi miskin karena tidak mempunyai hal berikut ini :

1. Akses, yang memungkinkan seseorang untuk menjangkau wilayah lapangan pekerjaan.

2. skill, yang memungkinkan seseorang untuk dapat menghasilkan suatu aktivitas yang digunakan dalam memperoleh nafkah atau melaksanakan suatu aktivitas pekerjaan tersebut.

3. Modal, yang memungkinkan seseorang untuk berwiraswasta, untuk mendukung dalam pemenuhan kebutuhan suatu aktivitas pekerjaan.

4. Proteksi, yang memungkinkan seseorang memperoleh perlindungan maupun pengakuan dari pihak berwenang atas pekerjaan yang dilakukan tersebut.

Dapat dijelaskan dengan bagan perangkap kemiskinan yang dipaparkan oleh R. Chamber seperti dibawah ini:

è Lemah fisik dapat dijelaskan sebagai berikut: Selama ini pembangunan fisik tanpa pengikutsertaan partisipasi masyarakat. Pola demikian paling mungkin menjadi penyebab rendahnya kreativitas dan prakarsa masyarakat, bahkan "membudayanya" perilaku ketergantungan itu tadi. Apalagi pembangunan fisik yang dilakukan tanpa dibarengi pengembangan SDM. Ditambah lagi dengan pembangunan perdesaan belum didasarkan pada sisi kebutuhan saja, sehingga efisiensinya tidak optimal. Permasalahan yang juga serius adalah kerusakan lingkungan di perdesaan semakin meluas. Hal itu akibat pemanfaatan sumber daya alam serta usaha agrobisnis yang kurang didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi, penyebab terjadinya berbagai macam bencana yang menimpa masyarakat perdesaan. Dalam segi produktivitas, harus diakui bahwa penguasaan teknologi dan SDM belum memadai, sehingga produktivitas petani masih rendah, tidak mampu menghasilkan produk olahan dan komoditas primer pertanian yang bernilai tambah lebih tinggi.

è Isolasi dapat dijelaskan sebagai berikut: Sebenarnya banyak bidang usaha ekonomi kerakyatan yang bersifat massal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat desa sendiri, tetapi kenyataan masyarakat perdesaan hanya menjadi penonton di luar arena. Karena bidang-bidang itu pun ditangani oleh para pengusaha besar. Padahal seharusnya pengusaha besar itu dapat berperan dalam pembinaan dan pemasarannya saja. Tetapi pada kenyataannya masyarakat desa terisolasi dengan keberadaan pengusaha besar tersebut sehingga sulit untuk mengembangkan usaha pada bidang-bidang tertentu.

Dari penjelasan kedua faktor tersebut sehingga mengakibatkan timbulnya kemiskinan (miskin), kemiskinan tersebut akan berpeluang menimbulkan kerentanan (rentan) terhadap berbagai hal-hal negatif, misal: kelaparan, kebodohan, dan lain-lain, hingga sampai pada kematian. Sehingga kemungkinan terburuk akan membuat seseorang tidak berdaya dalam segi apapun untuk bangkit dari sebuah keterpurukan.

REKOMENDASI

Beberapa rekomendasi dalam upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara antara lain: Pertama, mengingat sifat kemiskinan di Indonesia, dengan memusatkan perhatian pada beberapa bidang prioritas dapat diperoleh keberhasilan dalam melawan kemiskinan dan rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil minyak dan gas bumi, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan meraih keuntungan dari peningkatan penerimaan negara berkat melonjaknya harga minyak dan pengurangan subsidi BBM. Ketiga, Indonesia bisa memetik manfaat yang lebih besar lagi dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang masih terus berlangsung.

Dapat didukung dengan berbagai rekomendasi alternatif kebijakan yang bisa membuat perubahan-perubahan tersebut dapat efektif mengurangi kemiskinan:

Ø Pertama, seiring dengan pertumbuhan, perekonomian Indonesia diharapkan berubah dari perekonomian yang mengandalkan sektor pertanian menjadi perekonomian yang akan lebih banyak mengandalkan sektor jasa dan industri. Prioritas untuk membuat pertumbuhan tersebut berfaedah bagi masyarakat miskin adalah iklim investasi yang lebih ramah di pedesaan, terutama melalui jaringan jalan pedesaan yang lebih baik.

Ø Kedua, seiring menguatnya demokrasi, pemerintah diharapkan berubah dari penyedia sebagian besar layanan oleh pusat menjadi pemerintah yang akan lebih banyak mengandalkan pemerintah daerah. Untuk membuat layanan bermanfaat bagi masyarakat miskin, prioritasnya adalah peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan insentif yang lebih baik bagi penyedia layanan.

Ø Ketiga, seiring dengan integrasi Indonesia kedalam dunia internasional, sistem perlindungan sosialnya dimodernisir sehingga secara sosial Indonesia menjadi setara dan kompetitif di bidang ekonomi. Prioritas untuk membuat pengeluaran pemerintah bermanfaat bagi masyarakat miskin adalah bergeser dari intervensi pasar untuk komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin (seperti BBM dan beras) menjadi bantuan pendapatan yang terarah bagi rumah tangga miskin, dan menggunakan kelonggaran fiskal untuk memperbaiki layanan yang penting seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi.

KESIMPULAN

Dari data yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih rentan dengan kemiskinan terutama di wilayah pedesaan. Masalah kemiskinan pedesaan yang terus ada dan bersifat khas dianggap sebagai warisan nenek moyang secara turun-temurun oleh mayoritas masyarakat miskin pedesaan, sehingga dibutuhkan berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang berorientasi masa depan.

Digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan fiskal untuk menanganinya, Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih kemajuan yang berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Prioritas penanganan kemiskinan tersebut dapat dimulai dari berbagai tindakan diperlukan di beberapa bidang untuk penanganan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu (i) mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan, (ii) memperkuat kemampuan sumber daya manusia, dan (iii) mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan juga (iv) memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin. Terlaksananya beberapa prioritas tersebut diharapkan mampu mengentaskan Indonesia dari kemiskinan dan menjadikan wilayah pedesaan Indonesia senantiasa memperoleh lebih kemakmuran.

Sabtu, 23 Agustus 2008

Desentralisasi

Latar Belakang Masalah

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah , Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan di sempurnakan dengan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan pelaksanaan dari salah satu tuntutan reformasi pada tahun 1998 Kebijakan ini merubah penyelenggaraan pemerintahan dari yang sebelumnya bersifat terpusat menjadi terdesentralisasi meliputi antara lain penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah (kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, agama, fiskal moneter, dan kewenangan bidang lain) dan perubahan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik diharapkan akan menjadi lebih sederhana dan cepat karena dapat dilakukan oleh pemerintah daerah terdekat sesuai kewenangan yang ada. Kebijakan ini dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam perkembanganya, di indonesia paradigma tentang konsep desentralisasi sangat di agungkan hal ini terjadi sebagai upaya untuk mereformasi dan memodernisasi tata pemerintahan yang ada agar suatu negara dapat lebih dekat dengan masyarakat lokal. Anggapan muncul bahwa desentralisasi adalah salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan pembangunan seperti kesenjangan antara pemerintahan pusat ataupun masalah kemiskinan semakin meningkatkan euphoria masyarakat tentang desentralisasi. Secara teori mungkin paradigma tentang desentralisasi bisa di katakan baik, namun ide pokok dari konsep desentralisasi belum sepenuhnya terimplementasikan secara optimal dan masih cendrung memunculkan permasalahan-permasalahan yang tidak di inginkan.

Ide dasar mengenai Desentralisasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipologi, yaitu :

1. desentralisasi politik, bertujuan untuk memberikan kepada rakyat akses terhadap pengambilan keputusan publik

2. desentralisasi administratif, berfokus pada redistribusi kewenangan dan tanggung jawab dalam penyediaan jasa layanan umum antara jenjang pemerintahan yang berbeda. Dalam hal ini, desentralisasi administratif memiliki 3 (tiga) bentuk utama, yakni dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi

3. desentralisasi fiskal, desentralisasi fiskal bertujuan untuk memberi kewenangan kepada lembaga-lembaga lokal untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diserahkan /dilimpahkan, sekaligus merumuskan keputusan tentang pengeluaran anggaran, serta kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri

4. desentralisasi pasar atau desentralisasi ekonomi, desentralisasi ekonomi atau pasar diarahkan pada terjadinya alih tanggungjawab dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah dari sektor publik kepada sektor privat. Desentralisasi pasar ini merupakan bentuk sempurna dari desentralisasi, yang secarakonkrit dapat berupa kebijakan privatisasi attau deregulasi (Rondinelli, 1999: 2-4).

Desentralisasi boleh jadi merupakan terobosan kebijakan yang efektif. Namun, banyak kasus menunjukkan pula bahwa kebijakan ini melahirkan masalah-masalah baru. Dalam konteks Indonesia, format desentralisasi yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan otonomi luas kepada Kabupaten/Kota dan otonomi yang terbatas kepada Propinsi. Disatu sisi, kebijakan desentralisasi ini telah membawa banyak kemajuan yang berarti, baik secara politis maupun sosio-ekonomis. Namun disisi lain, harus diakui bahwa masih banyak agenda yang belum terlaksana, yang mengindikasikan kemungkinan gagalnya otonomi daerah.

Identifikasi masalah

Secara umum dalam pengimplementasianya konsep desentralisasi masih memiliki banyak sekali permasalahan yang sangat krusial dan mendasar,di antaranya :

1. belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, Kewenangan daerah masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum disesuaikan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengakibatkan berbagai permasalahan, yaitu antara lain dalam hal kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu kawasan atau pelayanan tertentu, pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan pajak, dan lainnya. Selain itu juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar pusat, provinsi dan kabupaten/kota daerah yang mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak dalam pelaksanaan suatu aturan, misalnya tentang pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan.

2. masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, Kerjasama antar pemerintah daerah masih rendah terutama dalam penyediaan pelayananan masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah, dan wilayah dengan tingkat urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pada pengelolaan dan pemanfaatan bersama sungai, sumberdaya air, hutan, tambang dan mineral, serta sumber daya laut yang melintas di beberapa daerah yang berdekatan, dan dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk pengolahan pasca panen dan distribusi, dan lain-lain.

3. belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, Struktur organisasi pemerintah daerah umumnya masih besar dan saling tumpang tindih. Selain itu prasarana dan sarana pemerintahan masih minim dan pelaksanaan standar pelayanan minimum belum mantap. Juga dalam hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah belum optimal.

4. masih terbatasnya dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, Hal ini ditunjukkan masih terbatasnya ketersediaan aparatur pemerintah daerah, baik dari segi jumlah, maupun segi profesionalisme, dan terbatasnya kesejahteraan aparat pemerintah daerah, serta tidak proporsionalnya distribusi, menyebabkan tingkat pelayanan publik tidak optimal yang ditandai dengan lambatnya kinerja pelayanan, tidak adanya kepastian waktu, tidak transparan, dan kurang responsif terhadap permasalahan yang berkembang di daerahnya. Selain itu belum terbangunnya sistem dan regulasi yang memadai di dalam perekrutan dan pola karir aparatur pemerintah daerah menyebabkan rendahnya sumberdaya manusia berkualitas menjadi aparatur pemerintah daerah. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah masih kurangnya etika kepemimpinan di beberapa daerah.

5. masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, Hal ini ditandai dengan terbatasnya efektivitas, efisiensi, dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber penerimaan daerah, belum efisiennya prioritas alokasi belanja daerah secara proporsional, serta terbatasnya kemampuan pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme.

Analisis Penyebab Utama

Dalam mengidentifikasi permasalahan yang muncul akibat desentralisasi saya akan mengambil dari sudut pandang model desentralisasi fiskal dan model desentralisasi administratif, karena menurut saya sudut pandang model desentralisasi fiskal dan model desentralisasi administratif paling banyak memunculkan permasalahan mulai dari awal pengimplementasian konsep desentralisasi hingga saat ini. Dalam hal ini saya akan menganalisis permasalahan yang timbul akibat paradigma desentralisasi dengan menggunakan teory modernisasi, karena Teori moderinisasi pada dasarnya menyatakan bahwa untuk memajukan pembangunan di sebuah negara faktor utama yang paling berperan adalah faktor internal negara itu sendiri (internal), dan saya beranggapan bahwa proses desentralisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan proses pembangunan secara internal. Teory modernisasi ini di dukung dengan teory Teori Harrot & Domar mengenai tabungan dan investasi yang secara teoritis sangat relevan sekali dengan kondisi di indonesia.

Teori tabungan dan investasi mengatakan bahwa masalah utama pembangunan adalah investasi. Pendapat ini di dasarkan pada asumsi masalah utama pembangunan utamanya adalah modal, masalah keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Jika ada modal dan modal itu di investasikan maka hasilnya adalah pembangunan ekonomi.

penekankan bahwa pembangunan masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi Pembangunan tidak lain adalah investasi/penanaman modal. Dengan adanya investasi yang baik maka di harapkan akan terciptanya pelayanan publik yang jauh lebih maksimal. Turner dan Hulme (1997: 152) berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani.

Desentralisasi fiskal bisa dipahami sebagai sebuah kebijakan untuk menciptakan perimbangan keuangan Pusat-Daerah. Desentralisasi Fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya terpusat di tangan pemerintah Pusat. Pelimpahan kewenangan ini bukan sekedar memberikan ruang bagi Daerah untuk mengelola keuangan sendiri, melainkan juga menciptakan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, serta untuk mendorong kemandirian Daerah di hadapan pemerintah Pusat. Perwujudan desentralisasi fiskal dilakukan melalui pembesaran alokasi subsisdi dari pemerintah Pusat, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan Daerah, pemberian keleluasaan kepada Daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.

Selain pembagian wewenang (expenditure assignment), pembagian sumber pendapatan (revenue assignment) dan pinjaman daerah, pilar utama desentralisasi fiskal adalah transfer dana dari pusat ke daerah

Disini persoalan muncul menyangkut soal DAU, polemik DAU terletak pada perbedaan cara pandang antara pusat dan daerah tentang DAU. Bagi pusat, DAU dijadikan instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan atau mengisi fiscal gap. Bagi daerah, itu dimaksudkan untuk mendukung kecukupan. Persoalan timbul ketika daerah meminta DAU sesuai kebutuhannya. Di sisi lain, alokasi DAU berdasar kebutuhan daerah belum bisa dilakukan karena dasar perhitungan fiscal needs tidak memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasar standar analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran ( khususnya APBD) belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien.

Demikian pula dengan bagi hasil dari sektor pajak. Daerah sering dipersalahkan karena memunculkan pajak dan retribusi daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Bagi daerah, ini semacam mengais remah-remah PAD karena sumber pajak yang gemuk sudah diserobot pusat. Dalam hal ini, daerah menuntut keadilan dengan sistem bagi hasil yang lebih besar, kalau tidak sumber pajak-pajak gemuk diserahkan ke daerah. oleh karena itu, mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah dalam penentuan DAU. Kebutuhan daerah sedikitnya menyangkut jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis, tingkat pendapatan masyarakat, dan masyarakat miskin.

UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah diterapkan, masih muncul berbagai permasalahan, terutama soal desentralisasi kewenangan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dalam hal desentralisasi fiskal maupun kewenangan pengelolaan SDA, eksploitasi pusat atas daerah menjadi wacana yang tampak pada implementasi otonomi daerah (otda) selama ini. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) dalam desentralisasi fiskal menimbulkan banyak masalah. Hal itu ditandai turunnya investasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi di daerah kaya SDA. Pemerintah pusat dianggap menjadi predatory state yang mengeksploitasi daerah secara besar-besaran, terutama daerah kaya migas seperti (NAD, Papua, Riau, dan Kaltim). Sebagai bukti, meski dikatakan sebagai daerah kaya, pembangunan prasarana ekonomi di daerah itu tertinggal dibanding daerah lain. Ekspresi ketidakpuasan daerah selama ini menjadi fenomena wajar. Misalnya, tentang bagi hasil migas. Kasus 48 daerah penghasil migas yang mengancam memblokade produksi migas di daerahnya pada pertengahan 2002. Saat itu, penetapan SK Menkeu No 24/KM.66/2002 tentang bagi hasil migas dianggap tidak transparan. Sebab, hanya memberikan 1-2 persen dari angka sesungguhnya pengambilan migas di masing-masing daerah.

Problematika pengelolaan SDA dapat dikaitkan dengan kewenangan investasi. Bermula dari terbitnya Keppres No 28 dan 29 Tahun 2004 yang menarik kembali kewenangan investasi ke pemerintah pusat. Meski UU 32/2004 menyatakan pelayanan administrasi penanaman modal menjadi urusan wajib pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Tetapi, RPP sebagai peraturan pelaksana UU 32/2004 dan RUU penanaman modal belum tentu selaras dengan UU 32/2004. Itulah yang dipandang sebagai penyebab menurunnya investasi di daerah. Dalam hal ini memang harus ada transparansi dan bagi hasil yang adil. Bila perlu, daerah boleh menggunakan auditor eksternal untuk menghitung hak sesungguhnya. Skema bagi hasil minyak antara pemerintah pusat dan daerah hanya semu karena bukan bagi hasil yang riil. Profit split 85%-15% antara pusat-daerah dilakukan setelah beberapa kali mengalami potongan pajak dan retensi. Contohnya, Riau. Dengan perhitungan yang ada, dari hasil kotor Rp 50,79 triliun 2000, Riau hanya mendapatkan Rp 3,39 triliun yang berarti hanya 6,67 persen. Hal ini membuktikan bahwa peranan pemerintahan pusat masih terlalu dominan dalam pengexploitasian sumber daya alam dan belum adanya investasi yang maksimal dari pemerintah pusat yang cenderung menghambat jalanya pembangunan di tingkat daerah-daerah.

Rekomendasi Kebijakan

Sejak dilaksanakannya kedua undang-undang tersebut, yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2001, masih ditemukan berbagai permasalahan. Bahkan ide dasar dari desentralisasi itu sendiri masih belum terimplementasikan dengan optimal di Indonesia khususnya yang diindikasikan oleh masih banyaknya ketentuan pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang belum diatur lebih lanjut, adanya tarik ulur kepentingan dalam upaya revisi, adanya perbedaan penafsiran yang melahirkan konflik antar unit pemerintahan (baik Pusat maupun Daerah) dan sebagainya. Secara konseptual, paradigma yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi memang sangat baik. Namun, pengimplementasi desentralisasi masih membutuhkan prakondisi untuk dapat berhasil dengan baik, diantaranya harus didukung oleh perencanaan yang matang agar pembangunan lebih efektif dan efisien dan ditopang oleh dengan ketidak mampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya program desentralisasi untuk dapat mengoptimalkan segara potensi daerah untuk memajukan daerah. Beberapa hal ini lah yang menyebabkan kegagalan disentalisasi di indonesia. Sehingga menyebabkan kurang optimalnya pelaksaan disentralisasi di Indonesia.

Melalui pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu pemerintah daerah harus lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Di Indonesia, tingkat kemiskinannya masih relatif tinggi dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakan-kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin guna mensukseskan program pembangunan. . . . . . . . . . . .. . .

Desentralisasi fiskal di Indonesia yang sudah dimulai sejak tahun 2001. Meskipun masih berumur muda dan secara pelaksanaannya desentralisasi fiskal ini masih mengalami berbagai kendala di lapangan, namun sudah memungkinkan bagi kita untuk melakukan evaluasi jangka pendek.

Dalam hal ini alokasi DAU berdasar kebutuhan daerah belum bisa di tutupi dengan baik karena secara sistematik belum memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasar standar (analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran (khususnya APBD) belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien.

Penutup

Implementasi desentralisasi akan melahirkan tata pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Dengan desentralisasi dan otonomi, pemerintah daerah akan lebih jelas mengetahui kebutuhan masyarakat lokal. Pemerintah daerah merupakan pihak yang paling dekat dengan rakyat. Secara tidak langsung, pemerintah daerah berwibawa untuk bertindak sebagai penghubung antara pemerintah pusat dengan rakyat dengan implementasi desentralisasi, tata pemerintahan yang efektif akan tercapai sehingga tindakan untuk memperbaiki dengan segera dapat di ambil sekiranya terjadi masalah dalam pelaksanaan proses pemerintahan atau pembangunan.

Selain itu , implementasi kebijakan desentralisasi juga dapat memperbaiki ketajaman perencanaan dan pengurusan di dalam birokrasi pusat dalam rangka menyelesaikan mesalah ekonomi, sosial dan politik negara. Implementasi desentralisasi dapat mengurangi beban tugas yang terpaksa di tanggung oleh pemerintah pusat melalui penyerahan kekuasaan dan tanggung jawaab kepada unit-unit pengelola pemerintah daerah.