Rabu, 29 Oktober 2008

problema pembangunan

PENDAHULUAN

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan di perdesaan menghadapi berbagai masalah yang tidak sederhana. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, lebih kurang 51 ribu desa merupakan desa perdesaan, dan sekitar 20.633 desa diantaranya tergolong miskin. Kemiskinan yang diderita masyarakat desa, khususnya petani dan nelayan tradisional, antara lain akibat pengurasan asset perdesaan selama ini. Berbagai pemberdayaan perekonomian rakyat di perdesaan kurang berhasil, dan kemiskinan itu sudah diterimanya sebagai warisan yang turun temurun. Ada kondisi yang dilematis, muncul perilaku ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraannya sendiri. Kreativitas dan prakarsa masyarakat rendah. Itulah persoalan yang rata-rata terjadi di perdesaan.[1]

Pembangunan dan perkembangan perdesaan jauh tertinggal dibandingkan dengan perkotaan. Sentra-sentra kegiatan ekonomi utama perdesaan yang berbasis pada agrobisnis dan pemanfaatan sumber daya alam belum berkembang secara optimal. Sektor ekonomi lainnya, seperti industri kecil dan kerajinan rakyat masih sangat terbatas. Sarana dan prasarana perdesaan, terutama jaringan jalan, air bersih den sanitasi sangat tidak memadai. Selain itu sarana dan prasarana pengairan yang telah dibangun serta ditangani pemerintah dalam kondisi kurang terpelihara.

Dapat diambil contoh Kabupaten Gunungkidul yang merupakan salah satu dari 5 kabupaten/kota di Propinsi D.I. Yogyakarta. Daerah Gunungkidul identik dengan wilayah pedesaan. Persoalan yang dihadapi Gunungkidul sampai dengan saat ini adalah problema kemiskinan. Masalah kemiskinan di Gunungkidul antara lain ditandai oleh jumlah penduduk dan keluarga yang masuk dalam kategori miskin masih cukup tinggi (28,06% penduduk masuk kategori penduduk miskin). Selain itu, kemiskinan bias dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2006 hanya sebesar 69,5.

Gambaran demografis penduduk Gunungkidul, dari total 759.859 jiwa penduduknya, lebih dari 50% hanya berpendidikan Sekolah Dasar, dan ada sekitar 6,3% dari total penduduk merupakan warga yang masih buta huruf. Sebanyak 69% penduduk Gunungkidul sebagai petani dan peternak, 18% berkecimpung dalam sector perdagangan, usaha dan jasa, sisanya merupakan kelompok buruh, karyawan, dll.[2]

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.[3]

IDENTIFIKASI PENYEBAB MASALAH

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.[4]

Beberapa faktor utama penyebab semakin terpuruknya kondisi ekonomi masyarakat desa itu (petani, nelayan, perajin, peternak dan buruh):

1. Kuatnya posisi pedagang perantara yang didukung oleh birokrat perdesaan yang juga turut menikmati sebagian keuntungan dari mekanisme pasar yang tidak berpihak pada petani.

2. Seluruh pasar baik lokal, regional maupun eksport umumnya telah dikuasai pedagang dengan distribusi income yang semakin tidak adil bagi produsen di perdesaan.

3. Bantuan-bantuan pemerintah seperti JPS sangat kecil yang benar-benar sampai kepada masyarakat yang menjadi target.

4. Tingkat pendidikan masyarakat desa yang relatif rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam upaya meningkatkan teknologi untuk mengefisiensikana kegiatan ekonomi mereka.

Selain itu seseorang bisa menjadi miskin karena tidak mempunyai hal berikut ini :

1. Akses, yang memungkinkan seseorang untuk menjangkau wilayah lapangan pekerjaan.

2. skill, yang memungkinkan seseorang untuk dapat menghasilkan suatu aktivitas yang digunakan dalam memperoleh nafkah atau melaksanakan suatu aktivitas pekerjaan tersebut.

3. Modal, yang memungkinkan seseorang untuk berwiraswasta, untuk mendukung dalam pemenuhan kebutuhan suatu aktivitas pekerjaan.

4. Proteksi, yang memungkinkan seseorang memperoleh perlindungan maupun pengakuan dari pihak berwenang atas pekerjaan yang dilakukan tersebut.

Dapat dijelaskan dengan bagan perangkap kemiskinan yang dipaparkan oleh R. Chamber seperti dibawah ini:

è Lemah fisik dapat dijelaskan sebagai berikut: Selama ini pembangunan fisik tanpa pengikutsertaan partisipasi masyarakat. Pola demikian paling mungkin menjadi penyebab rendahnya kreativitas dan prakarsa masyarakat, bahkan "membudayanya" perilaku ketergantungan itu tadi. Apalagi pembangunan fisik yang dilakukan tanpa dibarengi pengembangan SDM. Ditambah lagi dengan pembangunan perdesaan belum didasarkan pada sisi kebutuhan saja, sehingga efisiensinya tidak optimal. Permasalahan yang juga serius adalah kerusakan lingkungan di perdesaan semakin meluas. Hal itu akibat pemanfaatan sumber daya alam serta usaha agrobisnis yang kurang didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi, penyebab terjadinya berbagai macam bencana yang menimpa masyarakat perdesaan. Dalam segi produktivitas, harus diakui bahwa penguasaan teknologi dan SDM belum memadai, sehingga produktivitas petani masih rendah, tidak mampu menghasilkan produk olahan dan komoditas primer pertanian yang bernilai tambah lebih tinggi.

è Isolasi dapat dijelaskan sebagai berikut: Sebenarnya banyak bidang usaha ekonomi kerakyatan yang bersifat massal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat desa sendiri, tetapi kenyataan masyarakat perdesaan hanya menjadi penonton di luar arena. Karena bidang-bidang itu pun ditangani oleh para pengusaha besar. Padahal seharusnya pengusaha besar itu dapat berperan dalam pembinaan dan pemasarannya saja. Tetapi pada kenyataannya masyarakat desa terisolasi dengan keberadaan pengusaha besar tersebut sehingga sulit untuk mengembangkan usaha pada bidang-bidang tertentu.

Dari penjelasan kedua faktor tersebut sehingga mengakibatkan timbulnya kemiskinan (miskin), kemiskinan tersebut akan berpeluang menimbulkan kerentanan (rentan) terhadap berbagai hal-hal negatif, misal: kelaparan, kebodohan, dan lain-lain, hingga sampai pada kematian. Sehingga kemungkinan terburuk akan membuat seseorang tidak berdaya dalam segi apapun untuk bangkit dari sebuah keterpurukan.

REKOMENDASI

Beberapa rekomendasi dalam upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara antara lain: Pertama, mengingat sifat kemiskinan di Indonesia, dengan memusatkan perhatian pada beberapa bidang prioritas dapat diperoleh keberhasilan dalam melawan kemiskinan dan rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil minyak dan gas bumi, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan meraih keuntungan dari peningkatan penerimaan negara berkat melonjaknya harga minyak dan pengurangan subsidi BBM. Ketiga, Indonesia bisa memetik manfaat yang lebih besar lagi dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang masih terus berlangsung.[5]

Dapat didukung dengan berbagai rekomendasi alternatif kebijakan yang bisa membuat perubahan-perubahan tersebut dapat efektif mengurangi kemiskinan:

Ø Pertama, seiring dengan pertumbuhan, perekonomian Indonesia diharapkan berubah dari perekonomian yang mengandalkan sektor pertanian menjadi perekonomian yang akan lebih banyak mengandalkan sektor jasa dan industri. Prioritas untuk membuat pertumbuhan tersebut berfaedah bagi masyarakat miskin adalah iklim investasi yang lebih ramah di pedesaan, terutama melalui jaringan jalan pedesaan yang lebih baik.

Ø Kedua, seiring menguatnya demokrasi, pemerintah diharapkan berubah dari penyedia sebagian besar layanan oleh pusat menjadi pemerintah yang akan lebih banyak mengandalkan pemerintah daerah. Untuk membuat layanan bermanfaat bagi masyarakat miskin, prioritasnya adalah peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan insentif yang lebih baik bagi penyedia layanan.

Ø Ketiga, seiring dengan integrasi Indonesia kedalam dunia internasional, sistem perlindungan sosialnya dimodernisir sehingga secara sosial Indonesia menjadi setara dan kompetitif di bidang ekonomi. Prioritas untuk membuat pengeluaran pemerintah bermanfaat bagi masyarakat miskin adalah bergeser dari intervensi pasar untuk komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin (seperti BBM dan beras) menjadi bantuan pendapatan yang terarah bagi rumah tangga miskin, dan menggunakan kelonggaran fiskal untuk memperbaiki layanan yang penting seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi.[6]

KESIMPULAN

Dari data yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih rentan dengan kemiskinan terutama di wilayah pedesaan. Masalah kemiskinan pedesaan yang terus ada dan bersifat khas dianggap sebagai warisan nenek moyang secara turun-temurun oleh mayoritas masyarakat miskin pedesaan, sehingga dibutuhkan berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang berorientasi masa depan.

Digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan fiskal untuk menanganinya, Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih kemajuan yang berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Prioritas penanganan kemiskinan tersebut dapat dimulai dari berbagai tindakan diperlukan di beberapa bidang untuk penanganan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu (i) mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan, (ii) memperkuat kemampuan sumber daya manusia, dan (iii) mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan juga (iv) memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.[7] Terlaksananya beberapa prioritas tersebut diharapkan mampu mengentaskan Indonesia dari kemiskinan dan menjadikan wilayah pedesaan Indonesia senantiasa memperoleh lebih kemakmuran.



[1] www.worldbank.org

[2] Maarif, A. Syafii. 2007. Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Maarif Institute.

[3] Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

[4] Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

[5] www.worldbank.org

[6] www.worldbank.org

[7] www.worldbank.org

Tidak ada komentar: