Jumat, 09 Januari 2009

Urgensi Administrasi Publik

Ilmu Administrasi Negara sebagai suatu kajian ilmu bisa dibilang masih berusia muda dan belum matang sepenuhnya. Baru mulai dibahas atau dianggap sebagai suatu cabang ilmu tersendiri pada awal abad ke 20 sehingga wajar dalam perkembangannya masih mengalami pergantian paradigma yang cukup signifikan, dan terkadang paradigma yang baru nampak sebagai reaksi atau evaluasi dari paradigma yang lama . Saat sekarang ini administrasi negara memainkan peran pokok utama dalam sebuah negara. Karena dalam pengimplementasian sebuah kebijakan ataupun program-program yang di susun oleh pemerintah dan parlemen perlu sekali adanya sebuah aktifitas administrasi negara . Oleh karena itu, sebesar apa pun perdebatan yang berlangsung di parlemen atau sebagus apapun konsep kebijakan yang dirumuskan, perubahan yang diinginkan tidak akan pernah terwujud, jika administraai pemerintahan (negara) sebagai pelaksana terakhir roda kekuasaan tidak memberikan respons yang sepadan dan bersinergi.

LATAR BELAKANG MASALAH

Berbagai permasalahan pada aspek administrasi negara yang muncul selama ini berkaitan dengan citra dan kinerja administrasi negara yang belum dapat memenuhi keinginan masyarakat banyak. Pemasalahan administrasi negara tersebut saling terkait dan mempengaruhi, mulai dari hubungan dan kewenangan antar lembaga negara, sistem pemerintahan, kelembagaan (institusi pemerintah dan institusi diluar pemerintah yang semakin bertambah seperti komisi-komisi dan badan atau dewan-dewan), pengelolaan keuangan negara, kinerja pelayanan publik yang masih buruk, hubungan kelembagaan antara pusat dan daerah, dan SDM aparatur yang kurang atau belum profesional. secara garis besar ada empat pokok permasalahan mengenai Administrasi Negara,antara lain :

1. Kelembagaan yang belum tertata dengan baik
Masalah kelembagaan tidak hanya terkait dengan organisasi dan strukturnya, tetapi juga termasuk kultur, serta pembagian tugas dan kewenangan antar lembaga. Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah dibentuk puluhan lembaga di luar pemerintah, baik dalam bentuk komisi-komisi maupun badan. Pembentukan lembaga-lembaga yang bersifat indipenden tersebut menimbulkan permasalahan pembagian tugas dan kewenangan, tidak hanya antar lembaga tersebut tetapi juga antara lembaga-lembaga tersebut dengan pemerintah. Dari sudut pandang administrasi negara, pembentukan lembaga-lembaga tersebut sangat mengganggu dan tidak efisien dan efektif. Disamping itu hubungan kelembagaan dan kewenangan antara pusat dan daerah pun saat ini belum terselesaikan dengan baik. Desentralisasi dan otonomi daerah, yang merupakan amanat konstitusi, pelaksanaannya masih mempunyai banyak permasalahan. Banyak peraturan perundangan yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah masih belum rampung bahkan beberapa peraturan cenderung tumpang tindih.
2. Kualitas Pelayanan Publik
Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada pemerintah. Perbaikan pelayan-an publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanan reformasi hingga saat ini, ternyata belum mengalami perubahan yang signifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang utamanya ditandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, lambat, mahal, tertutup, dan diskriminatif, serta berbudaya bukan melayani melainkan dilayani. Di samping itu rendahnya partisipasi masyarakat dalam menggerakkan fungsi-fungsi pelayanan mengakibatkan monopoli yang tak terkendali, dan belum adanya standar tolok ukur terhadap optimalisasi pelayanan publik oleh paratur kepada masyarakat dapat menimbulkan kesulitan dalam pengukuran kinerja pelayanannya.
3. Sumber Daya Manusia Aparatur
Sebagai salah satu isu strategis dalam reformasi administrasi negara, berkaitan dengan kompetensi SDM aparatur yang di dalamnya mencakup kompetensi, profesionalisme, etika dan budaya kerja. Sejauh ini masih banyak aparatur negara yang belum kompeten, serta mengabaikan norma-norma, etika dan aturan administrasi negara yang baik. Indikasinya adalah masih tingginya penyalahgunaan kewenangan sehingga menimbulkan ketidakefisienan, ketidakefektifan dan ketidak produktifan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan, sehingga harapan akan suatu kultur aparatur negara yang profesional dan akuntabel belum dapat tercapai. Fenomena seperti ini menunjukkan keadaan yang sangat memperihatinkan mengingat dewasa ini bangsa sedang menghadapi tantangan yang sangat kompleks, yang ditandai dengan semakin tingginya persaingan antar negara.
4. Pengelolaan Keuangan Negara
Sejak tahun 2003, telah diterbitkan tiga undang-undang di bidang pengelolaan keuangan negara, yaitu UU 17/2003 Tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 Tentang Perbendaha-raan Negara, dan UU 15/2004 Tentang Pemeriksaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Hal yang penting di dalam perundang-undangan tersebut adalah penggabungan anggaran rutin dan pembangunan, dan penerapan anggaran berbasis kinerja, dimana setiap penggunaan anggaran harus dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (output, outcome). Perubahan tersebut menuntut penerapan pengawasan yang dapat menjamin tercapainya hasil dengan penggunaan anggaran yang telah ditetapkan. Namun demikian, hingga saat ini reformasi dalam pengelolaan keuangan negara ini masih menghadapi kendala, antara lain belum terbangunnya sistem atau manajemen yang mampu mendukung penerapan kebijakan pengelolaan keuangan negara yang benar-benar didasarkan pada kinerja unit kerja atau lembaganya.
` Terkait dengan permasalahan seperti diatas,hendaknya perlu sekali adanya tindakan dari pemerintah untuk segera melakukan reformasi administrasi negara. Guna melancarkan semangat pembangunan di Indonesia pada umumnya dan mengoptimalkan bentuk-bentuk pelayana publik untuk kepentingan masyarakat.

ANALISIS MASALAH

Dari ke empat permasalahan mengenai Administrasi negara yang muncul di atas ada satu permasalahan yang sampai saat ini dijadikan sebagai kritikan utama kepada pemerintah umumnya adalah mengenai kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah pada saat ini di rasa sangat tidak efisian dan terkesan kurang maksimal. Setidak - tidaknya ada lima hal dan sekaligus menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi oleh administrasi negara dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik - baiknya kepada masyarakat :
pertama, Derasnya tuntutan agar pemerintah mampu menumbuhkan adanya good governance yaitu suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan profesional. Rekruitment penyelenggara pemerintahan di semua jenjang harus benar - benar didasarkan pada persyaratan merit system dan menolak favoritisme dan nepotisme.
Kedua, Semakin tajamnya kritik masyarakat atas semakin rendahnya kualitas pelayanan publik. Masyarakat telah merasa melaksanakan kewajiban - kewajibannya tetapi seringkali hak - haknya terpasung oleh aparat pelayanan.
Ketiga, Semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis sehingga mereka benar - benar paham bahwa kita sekarang sangat membutuhkan aparat pelayanan yang mampu to do more with less artinya dalam situasi yang penuh dengan krisis ini aparat pelayanan harus bekerja lebih keras dan lebih produktiv dengan serta kelangkaan sumber – sumber.
Keempat Aparat pemerintah dituntut agar bekerja lebih profesional dengan mengedepankan terpenuhinya public accuntability and responsibility yaitu dengan menekan sekecil mungkin pemborosan penggunaan sumber - sumber negara dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundangan yang berlaku (the body of rules) sebagai fondasi untuk melaksanakan tugas - tugasnya.
Kelima, Masyarakat, sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi kepentingannya (public interest), menuntut agar pemerintah memperhatikan dengan sungguh - sungguh aspirasi mereka dan sejauh bisa memenuhinya.
Pada saat ini dan masa yang akan datang permintaan pelayanan publik akan selalu meningkat baik kualitas maupun kuantitas, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan perubahan lingkungan yang terus berubah. Guna memenuhi tuntutan tersebut, kesiapan dan kemampuan aparatur perlu semakin ditingkatkan, agar tak terjadi kesenjangan antara tuntutan dan harapan masyarakat di satu sisi dan kemampuan aparatur dalam pelaksanaan fungsi pelayanan di satu fihak. Untuk menghilangkan / mengurangi kesenjangan ini para aparatur harus memiliki kemampuan profesional yang tinggi dan secara terus menerus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Untuk mengantisipasi keadaan seperti itu birokrasi publik harus disiapkan secara sistematis, dengan menciptakan sistem kelembagaan aparatur, sistem kepegawaian serta mekanisme ketatalaksanaan yang baik dan terpadu, sehingga pada gilirannya aparatur mampu dan siap dalam menghadapi tuntutan pengguna jasa publik yang semakin meningkat.
Pelaksanaan pelayanan publik berkaitan erat dengan moral dan etika birokrasi publik. birokrasi publik perlu memiliki kepekaan etika untuk bisa melayani publik dengan baik. Semangat kerja birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik harus menjadi pedoman kerjanya. Dengan itu pula berbagai bentuk kesalahan dalam pelayanan seperti apatis, menolak berurusan , dingin , memandang rendah , bekerja secara mekanis dan saling lempar (round a round) tidak dijumpai dalam organisasi pelayanan publik.
Selain itu juga pelayanan publik yang diberikan pemerintah dewasa ini perlu sekali diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan bukan untuk menyuburkan ketergantungan. Dalam situasi dimana sumber-sumber publik semakin langka keberadaannya, perlu dikembangkan pemberdayaan di kalangan masyarakat dan aparatur, karena dapat mengurangi beban pemerintah dalam pelayanan publik. Sebagaimana dikatakan oleh Thoha “…. Peran dan posisi birokrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik harus diubah. Peran yang selama ini suka mengatur dan minta dilayani, menjadi suka melayani, suka mendengarkan tuntutan, kebutuhan dan harapan-harapan masyarakat (Thoha : 1997, 7). Dalam perkembangan berikutnya ternyata hakekat pelayanan publik bukan semata-mata persoalan administratif belaka seperti pemberian ijin dan pengesahannya, atau pemenuhan kebutuhan fisik seperti pengadaan pasar dan puskesmas, tetapi juga mencakup persoalan yang lebih mendasar yakni pemenuhan keinginan/kebutuhan pelanggan. Hal ini wajar karena dalam setiap organisasi, pemenuhan dan pemberian pelayanan kepada pelanggan merupakan suatu tuntutan. kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan sangat diutamakan mengingat keduanya mempunyai pengaruh yang besar kepada keberlangsungan dan berkembangnya misi suatu organisasi.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai
berikut:
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan,
persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
( 8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.


PROYEKSI KEDEPAN

Untuk semakin memaksimalkan kinerja administrasi negara terutama yang berfokus pada pelayanan publik sepertinya perlu sekali adanya berbagai kebijakan yang relevan untuk semakin mengoptimalkan kinerja atau kualitas dari pelayanan publik itu sendiri,dibawah ini ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah:
Etika birokrasi
ada dua pandangan yang menggambarkan pendekatan dalam etika administrasi negara yang harus di dilaksanakan untuk memaksimalkan kinerja administrasi negara :
Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembangnya “Administrasi Negara Baru”. Menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (social equity). Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik, memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, administrasi harus lah membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi. Pandangan ini, cukup berkembang, meskipun di dunia akademik banyak juga pengeritiknya.
Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. berpendapat bahwa etika administrasi negara harus mengacu kepada nilai -nilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan.
Dalam hal ini Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, harus tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika organisasi namun sepertinya hal ini adalah sebuah pekerjaan yang memerlukan waktu dan kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan maksimal, tetapi akan lebih banyak bersifat inkremental. Seperti kita tahu sendiri bagaimana keadaan birokrasi kita jika dilihat dari perspektif etika dan moral nya pada saat sekarang ini.
Selain itu juga birokrasi harus terkait dengan pembangunan sosial ekonomi secara keseluruhan. Keberhasilan dan kemajuan pembangunan administrasi akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dan kemajuan pembangunan sosial ekonomi. Sebaliknya, kemajuan sosial ekonomi sangat tergantung dari kemampuan administrasi dalam menyelenggarakan tugas-tugas pembangunan. Dengan demikian, keduanya berkaitan sangat erat dan satu sama lain saling memperkuat. Dalam hal ini yang terpenting adalah memperhatikan nilai-nilai moral dan konsekuensi dalam pengambilan keputusan dan tindakan administrasi bagi masyarakat. Secara garis besar Kepentingan umum (public interest) merupakan tolok ukur yang harus diperhatikan.
Strategi revitalisasi
Di kebanyakan negara berkembang yang sudah mengalami perubahan menjadi negara maju, reformasi administrasi negara merupakan langkah awal dan prioritas dalam pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor pembangunan sekaligus menjadi instrumen penting pembangunan. Reformasi administrasi negara di negara-negara tersebut pada umumnya dilakukan melalui dua strategi.
Pertama, merevitalisasi kedudukan, peran, dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi.
Kedua, menata kembali sistem administrasi negara, baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia (PNS), maupun relasi antara negara dan masyarakat. Strategi pertama dapat dilakukan melalui penguatan peran dan fungsi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan LAN sebagai motor reformasi administrasi. Karena itu, kepada kedua lembaga ini harus diberikan kewenangan yang bersifat kebijakan (policy agency) dan juga kewenangan yang bersifat eksekusi (executing agency).
Sementara menyangkut penataan sistem administrasi negara harus merupakan program yang terintegrasi dari hulu sampai hilir dalam bidang-bidang pembangunan administrasi. Strategi ini dapat dimulai dari proses perekrutan pegawai, sistem promosi pegawai berdasarkan kinerja, perubahan paradigma dan spirit administrasi publik, sistem dan besarnya penggajian, perubahan struktur dan proses kerja, serta pengawasan disiplin PNS.
Demikian banyaknya hal yang perlu dilakukan dalam revitalisasi administrasi negara, perlu dibuat rencana prioritas. prioritas harus diberikan terutama pada penataan kembali kebutuhan dan proses perekrutan PNS, penataan sistem penggajian PNS, pengawasan dan penegakan hukum terhadap kekayaan negara PNS, pengawasan dan penegakan hukum penerimaan hadiah oleh PNS, restrukturisasi pemerintah pusat, deregulasi dan simplikasi prosedur administrasi, serta penguatan peran masyarakat dalam kontrol pelaksanaan pemerintahan.

Daftar Pustaka
1. Thoha, Miftah dan Dharma, Agus (editor), 1999, Menyoal Birokrasi Publik,Jakarta, Balai Pustaka.
2. Hasil Seminar Nasional “PENATAAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA PASKA AMANDEMEN KONSTITUSI” jakarta, Balairung Gedung Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 18 Januari 2007. Perhimpunan Ssarjana Aadministrasi Indonesia (PERSADI)
3. http://adhy-sayang.blogspot.com/2008/01/budaya-birokrasi-pelayanan- publik.html
4. Keban, Yeremias T., 2004, Enam Dimensi Strategis Adminsitrasi Publik Konsep,Teori Dan Isu, Gaya Media, Yogyakarta

Lagi – lagi tawuran???gak bosen mas. . .

Payah mahasiswa di tanah air kita sekarang ini tak ubahnya dari segerombolan anak kecil yang lebih mengedepankan emosi dari pada rasionalitas berfikir,katanya kaum intelek tapi kelakuanya kok lebih mirip preman. Gak malu mbak/mas ama umur udah segede itu masih berantem aje??payah. . .
Kali ini bentrokan terjadi antara mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana dengan mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Kupang akibatnya satu orang tewas dan tujuh orang luka-luka . awalnya se cuman gara-gara masalah sepele mulai dari sikap saling ejek antara dua kelompok mahasiswa, yang kemudian dilanjutkan dengan pelemaparan batu dan benda keras lain ke arah kedua kampus. Terlepas dari para pelaku tawuran,di sini kita dapat merenungkanya??apakah ada yang salah dengan system pendidikan di tanah air kita di bumi Indonesia??
Sistem pendidikan di Indonesia menekankan pada kurikulum yg padat dan ajaran agama, tapi tidak di barengi oleh pendidikan moral danbudi pekerti. Akibatnya banyak orang pintar ato intelek tapi kelakuannya ngga beda jauh sama orang2x yg tidak mengecam bangku sekolah. Kita bisa lihat betapa anehnya, manusia2x yg berpendidikan dan beragama bisa bertindak anarkis, dan yg paling bodohnya, mereka melakukan tindakan2x tsb cuma karena hal2x yg sepele. Apa gunanya mereka berpendidikan dan beragama ? Sungguh menyedihkan memang, dimana pada saat tidak semua warga Indonesia bisa memdapatkan fasilitas belajar dengan layak, kelompok yg beruntung bisa bersekolah, tapi malah berprestasi di bidang tawuran dan tega merusak sekolah dan kampus nya masing2x. Untuk itu peran pemerintah dan orang tua di masa datang sangat penting. Pemerintah wajib menyusun ulang sistem pendidikan kita, agar semua sekolah wajib mengajarkan budi pekerti dari tingkat TK. Dan hal ini perlu juga di dukung oleh para orang tua, untuk mempraktekan budi pekerti ini pada anak2x mereka di usia yg sedini mungkin. Di harapkan generasi berikutnya bisa menjadi generasi yg lebih baik. Yg bisa mencerminkan budaya orang Indonesia, yang santun, ramah, bertoleransi dan beradab.. Bagi para mahasiswa yg egois, arogan dan sok pinter & sok jago, yg masih doyan tawuran, coba renungkan sejenak, kalian generasi muda jika tetap tidak mau berubah, mau jadi apa setelah lulus ??? Dengan level moral yg kalian punya, bisa di pastikan, kalo jadi pejabat pasti korupsi. Kalo jadi pengusaha pasti ngga bakalan sukses. Kalo jadi pegawai ngga bakalan ada perusahaan yg mau mempekerjakan orang2x yg anarkis. Kalo jadi preman ato tukang berantem, percuma juga karena beraninya cuma maen keroyokan.

Rabu, 29 Oktober 2008

REFORMASI ADMINISTRASI DAN PARADOKS DEMOKRASI

Ini menjelaskan tentang perselingkuhan antara birokrasi dengan elit politik yang semakin inten. Melalui institusi Presiden dan Wakil Presiden dengan Wakil Rakyat, DPR. Kebijakan yang dirumuskan dianggap sah dan demokratis, hanya karena adanya keberadaan symbol institusi dari demokrasi, yakni DPR. Di sisi berhadapan birokrat begitu kuat menjaga motif nilai manajer departemen. Pada konteks organisasi public, eksekutif melalui birokrasinya terbawa tuntutan reformasi administrasi melalui paradigma pasar, sepert terwujudnya good governance. Ini dilakukan untuk menghindari kegagalan implementasi dan kritik keras terhadap birokrasi. Dilema yang muncul adalah birokrasi harus professional dan responsive tapi, pada sisi lain otonominya sebenarnya sedang ditekan oleh politisi melalui paradigma baru. Dugaan bahwa dinamika komplek terpotret melalui bargaining dalam sector public yang memungkunkan terjadi manipulasi dalam pengelolaan sector public. Reformasi politik, telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik ditengah arus demokratisasi, karena reformasi administrasi sering direduksi pada tatanan tehnis. Birokrasi sebenarnya tidak akan bisa netral.

Birokrasi dan jebakan politik

Orde baru melalui bureaucratic polity, tekanan kekuasaan dan dinamika dibangun sistematis di dalam menjalankan. Disini demokrasi dikesampingkan. Dua hal penting model bureaucratic polity eksis:

  1. bureaucratic polity tidad jauh beda dari bentuk pemerintahan olek derajat untuk decision making nasional daerah kekuatan sosial dan politik keluar pejabat tidak tinggi bagi modal kota.
  2. daerah utama untuk kompetisi politik tidak di negara yang besar dan kekuatan tidak dicapai terus memperbaiki bagi banyak gerakan. Daripada kekuatan penuh dicapai meluli kompetisi interpersonal di lingkaran elite di fisik yang tertutup dekat presiden.

tiga komponen dinamika politik terkait dengan birokrasi menggejala:

  1. komponen political competition. Adanya dikotomi administrasi dan politik dijelaskan dengan konteks yang spesifik. Decision making benar-benar diperankan oleh arena inti proses kompetisi politik yang dibangun diluar birokrasi sesungguhnya. Proses politik pada tingkat ini bisa sangat kompleks, namun bersifat informal di sekitar presiden.
  2. komponen actor. Struktur dikotomi dilihat dari sisi struktur formal, para pejabat yang memiliki kewenangan formal. Actor inilah komponen yang pertama.

Birokrasi sebagai komponen dari suatu pemerintah dari pusat sampai dengan daerah politik. Dinamika interaksi politik dengan birokrasi pada pemerintahan hasil pemilihan secara lansung. Namun, demokratisasi yang diusung dan diyakini akan membawa perubahan yang besar di Indonesia justru telah memanipulasi sektor publik melalui instrumen reformai administrasi yang sedang populer. Birokrasi yang selalu dituntut responsif sesungguhnya sedang mengalami tekanan elit politik.

Tulisan ini tidak menjelaskan jarak antara birokrasi dengan elit politik dalam dinamika administrasi publik di Indonesia. Justru tulisan ini akan menjelaskan adanya kedekatan elit politik dengan birokrasi. Pertautan keduanya terjalin dengan bungkus rapi dibalik mekanisme demokrasi.

Setiap kebijakan yang dirumuskan dianggap sah dan demokratis oleh DPR yang dianggap simbol institusi dan demokrasi. Pada sisi yang lain, Birokrasi melalui aparat negara begitu kuat menjaga nilai manajer yang diinternalisasikan dari nilai politiknya pada kebijakan tersebut,tanpa memperdulikan rakyat yang akan terkena dampak langsung. Sehingga yang tersisa di mata rakyat hanyalah kekuasaan dari birokrasi.

Pada konteks organisasi publik, para ekskutif melalui birokrasinya terbawa tuntutan reformasi administrasi seperti terwujudnya good governance. Hal ini dilakukan agar terhindar dari kegagalan implementasi dan nilai negatif birokrasi, termasuk tekanan global (IMF, World bank).

Dilema yang terjadi adalah, bahwa pada sisi birokrasi dituntut untuk selalu profesional dan responsif. Namun disisi lain, birokrasi ditekan oleh politisi melalui nilai-nilai dari paradigma baru tersebut.Oleh karena itu, setiap kebijakan yang dibuat selalu bias dengan kepentingan politik.

Dinamika komplek tersebut terlihat melalui politik bargaining dalam sektor publik yang memungkinkan terjadinya manipulasi dalam pengelolaan publim sektor. Reformasi birokrasi dimanfaatkan oleh kepentingan politik ditengah arus demokratisasi.

Sistem pemilu secara langsung yang diterapkan, memberikan implikasi pada ricuhnya kebijakan publik. Hal tersebut dapat terjadi di pusat maupun daerah (pemilihan kepala daerah secara langsung), contoh konkritnya dapat dilihat dari Pilkada secara langsung, perubahan dari partai attachment menjadi personal attachment dan terjadinya transformasi kepentingan elit menjadi kepentingan publik sehingga dapat menyebabkan pemerintah lamban dan tidak responsif, sehingga kemungkinan adanya bargaining dan cheating ada meski dalam era demokratisasi dan kampanye good-governance.

Birokrasi Pemerintahan (Bureaucratic Government)

Interaksi politik dan birokrasi terjadi begitu inten dalam dinamika pemerintahan kita. Interaksi yang terjadi bukan saja politisi memanfaatkan eksekutif, tapi eksekutif dan birokrasinya menghendaki hal tersebut sebagai bagian dari balas jasa kampanye pemilihan presiden langsung dan untuk mengamankan kekuasaannya dan hal tersebut dianggap hal yang normal, padahal didalamya terdapat manipulasi kepentingan rakyat yang berarti kepentingan demokrasi. Menurut Carino, sesungguhnya pemerintahan yang demikian sedang berusaha tampil secara demokratis, tetapi ada cara-cara yang tidak demokratis yang berakibat pada implikasi pemerintahan yang otoriter. Menurut kerangka yang dikembangkan Carino, pola interaksi tersebut secara teoritis akan menempatkan siapa dimana/dominasi birokrasi ataukah birokrasi sederajat dengan politisi, ada 2 bentuk model, yaitu:1. Executive ascendancy seperti bentuk dikotomi politik administrasi yang murni (Carino,1992:4), 2. Bureaucratic sublation of, or co-quality with the executive. Posisi ini sama dengan yang pertama, ada kemungkinan penyalahgunaan posisi,yang mengakibatkan birokrasi yang awalnya sama akan ada posisi yang lebih tinggi sehingga perlu dikontrol, sedangkan Peters dan Pierrs (2001:5) memahami pola interaksi politisi dengan birokrasi lebih mendalam (intensitas terinternalisasinya nilai-nilai demokrasi) dan terkesan overlapping (birokrasi dan politisi). Pada sisi yang ekstrim, mereka memetakan interaksi kedunya dalam bentuk tumpang tindih karena internalisasi nilai-nilai demokrasi, sehingga negara yang sedang melakukan konsolidasi demokrasi memungkinkan elit eksekutif memiliki akses dalam memainkan informasi dalam birokrasi.

Model birokrasi yang berada pada posisi intermediate ada 2 kategori, yaitu :

a. Kategori Village Life

Menjelaskan bahwa baik aparat atau elit politik memiliki latar belakang sosial ekonomi, kepentingan, dan pengalaman yang sama. Value normatif pada kategori ini adalah value yang memiliki orientasi pada efektivitas dan produktivitas lembaga.

b. Kategori Functional Village

Dari perumusan kebijakan / policy sampai dengan implementasinya / pelaksanaannya semuanya tertata rapi.

Model birokrasi yang dibahas disini adalah model Bureaucratic Government. Dalam model ini terjadi kompleksitas politik yang cukup tinggi pada tingkatan organisasi. Model ini juga sangat cocok dengan model Birokrasi Indonesia saat ini,dimana birokrasi negara kita sedang mengalami himpitan permainan elit politik. Para elit politik tersebut mendapatkan ruang yang lebih luas dalam wilayah birokrasi. Hampir semua pejabat di Indonesia dipilih berdasarkan politik. Sehingga kesannya, para pejabat tersebut lebih mementingkan kepentingan golongan atau partainya, daripada kepentingan rakyat. Karena model birokrasi yang seperti itulah, mengapa banyak kebijakan publik di Indonesia sekarang ini memiliki kecenderungan yang mungkin saja berpotensi menyesengsarakan rakyat.

Reformasi administrasi terjadi melalui tahapan yang kompleks dan melibabtkan banyak kepentingan, regulasi, dan aktivitas operasional antar beberapa institusi. Reformasi akan merubah tatanan yang telah ada sebelumnya dengan meredefinisi dan resistensi untuk menuju keberhasialn.

Ide ini di kemas dalam konsep yang telah menjadi Political Catchword di seluruh dunia, yaitu Governance. Secara umum konsep ini telah di gunakan karena terkait dengan fokus kapabilitas dari pemeerintah dengan interaksinya dan interaksinya antara pemerintah dengan masyarakat.

Sebagai contohnya adalah pemanfaatan konsep oleh IMF dan World Bank dalam rangka good governance. Dalam konteks urban politics, pemanfaatan konsep melalui Local Governance. Sedangkan dalam konteks policy analisis, di kembangkan melalui konsep tentang governance framework. Multi lever mengembangkannya dalam konteks interaksi antara lembaga lokal, regional, nasional, dan transnasional. Global Governance juga berkembang melalui level hubungan internasilonal. Dan yang terkhir adalah dalam konteks interaksi publik dan private, governance telah di gunakan untuk penelitian-penelitian tentang peran pemerintah dalam melakukan koordinasi di sektor ekonomi.

Intervensi Paradigma ini lebih di fokuskan pada konteks reformasi administrasi saja, yakni pada adopsi instrumen administratif tertentu yang kelihatan tehnis, namun dalam intervensi global dan demokrasi telah membuka ruang yang lebih besar bagi politisi untuk bermainm dalam wilayah birokrasi ini. Intervensi paradigma ini juga akan mempengaruhi interaksi kekuasaan antara birokrasi yang di lakukan oleh pelatyan publik dengan politisi pada berbagai tahapan.

Perkembangan ini terkait dengan krisis yang dialami oleh nega5a, yang bisa juga di katakan merupakan gagalnya suatu administrasi negara yang di terapkan dalam konteks global yang terjadi di negara transisi seperti Indonesia ini.

Dalam penerapan reformasi administrasi ini seringkali di manfaatkan oleh politisi untuk mengambil keuntungan. Sebagai contoh adalah NPM dan kasus BBM. Dalam kasus BBm, analisis lebih di fokuskan pada interaksi politik dan birokrasi. Kasus BBM ini merupakan kebijakn yang sarat dengan tuntutan responsibilitas dari organisasipublik yang mendelivernya dan nilai-nilai kolektif yang lebih luas yang menyangkut masyarakat miskin. Dari awal kebijakan ini memang di kendalikan secara politis. Peluang ini telah terbaca oleh politisi karena memanng organisasi publik sedang mengalami kesulitan untuk menggunakan instrumen baru ini. Ini merupakan permasalahan transfer nilai dari organissai privat ke organisasi publik.

Kenyataan yang seperti ini bisa mengakibatkan kegagalan. Seharusnya reformasi menghendaki pengelolaan yang sistematis. Komlpeksitas politik pada transisi demokrasi yang belum matang telah memutuskan link yang seharusnya terjadi atau di lakukan. Selebihnya, ada proses perubahan internal organisasi dan juga lingkup eksternal pada suatu negara yang memungkinkan terjadinya reformasi tersebut, tetapi belum sepenuhnya berubah. Dengan kenyataan lemahnya proses reformasi, maka politisi lebih leluasa memanfaatkan instrumen responsibilitas untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek.

Kenaikan harga BBM yang terus di paksakan dengan berbagai penolakan melalui demonstrasi-demontrasi menunjukan rendahnya akuntabilitas organisasi publik. Sementara akuntabilitas dalam reformasi administrasi merupakan instrumen yang penting. Dan lebih di tekankan lagi bahwa proses internalisasi instrument yang lemah akan memberikan peluang yang besar bagi politisi untuk memberikan suatu perfomance dari kebijakan tertentu.

Birokrasi kita sekarang ini masih sangat mengecewakan di dalam pelaksanaannya, bureaucratic goverment di Indonesia merupakan birokrasi publik yang mengalami kebingungan arah dan ini terjadi di tengah perubahan ke arah demokrasi. Dalam reformasi ini di manfaatkan oleh politisi melalui cara yang tidak demokratis, karena birokrasi tidak siap untuk berubah.

Rezim kita sekarang ini telah gagal menentukan kualitas yang tinggi dalam mengelola masalah publik. Padahal rezim seharusnya menentukan peraturan dasar dan kualitas dari interaksi antara bermacam-macam lembaga melalui kebenaran proses kebijakan dan gabungan nilai untuk mengelola masalah publik.

Melihat kenyataan tersebut,maka ada dua hal yang penting yaitu : reformasi administrasi yang menggunakan beberapa instrumen yang memiliki nilai kontradiktif satu sama lain dalam dirinya sendiri karena nilai dari organisasi publik dan privat yang digeneralisasikan ternyata telah membuka peluang permainan politik. Yang kedua yaitu adanya kenyataan bahwa demokrasi yang diinternalisasikan masih dalam tahapan demokrasi formal,prosedural yang memberikan ruang pada elit politik untuk memberi instrument pada organisasi publik.

Di indonesia antara politisi dan public servant tidak terjadi kerjasama yang baik dalam pemecahan masalah publik yang seharusnya secara demokratis dalam perumusan kebijakan dalam perumusan kebijakan dan responsivitas dalam implementasinya namun disini terjadi penipuan yang dilakukan publik servant dalam pelayanan publik. Hal ini ditandai dengan banyaknya lobi yang dilakukan eksekutif untuk kepentingan kebijakan.

Contohnya,kasus kenaikan harga BBM yang didukung oleh partai PKS dan PPP padahal dulunya menolak kenaikan BBM. Kedua partai tersebut setuju dengan kenaikan BBM karena untuk mempertahankan kekuasaan mereka yaitu demi pertimbangan kadernya yang mendapatkan posisi sebagai menteri.

Dengan demikian birokrasi kita sekarang ini di bawah kontrol politisi, politisi memainkan perannya untuk tidak melakukan perannya untuk tidak melakukan reaksi sama sekali terhadap resistensi yang di berikan oleh publik. Hal ini dapat merugikan reformasi administrasi kita, demokrasidan kesejahteraan rakyat miskin. Semua ini terungkap ketika negara kita melakukan pemilu secara langsung.

Seharusnya reformasi administrasi di pahami sebagai sistem administrasi yang lebih efektif untuk perubahan sosial, di mana instrument membawa persamaan politik, keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Jadi reformasi itu bukan sekedar masalah tehnis administratif. Karena apabila reformasi hanya pada tahapan tehnis, maka instrumen yang digunakan akan sangat mungkin bernuansa dan di terjemahkan oleh kepentingan elit yakni politik.

Logika tersebut di kembangkan dengan beberapa alasan, pertama ide reformasi selalu datang dari kepentingan eksternal dan bahkan global, kedua kepentingan global tersebut tidak selamanya berdimensi tunggal. Ketiga, adalah reformasi pastilah produk keputusan politik dan bukannya administratif belaka. Keempat, reformasi administrasi yang terbungkus dengan paradigma besar seperti demokratisasi dan globalisasi, lanngsung maupun tidak langsung mewarnai nilai kebijakan melalui lembaga presiden atau wakil presiden yang secara langsung berhadapan dengan rakyat. Jadi Reformasi administyrasi akan mempertemukan birokrasi, politisi, dan rakyat, serta pasar menjadi bagian stakeholder dalam reformasi administrasi.

Komentar:

Indonesia adalah negara yang menganut model pemerintahan Demokrasi, model pemerintahan demokrasi adalah model pemerintahan yang bebas mengeluarkan pendapat dan pemerintah mengutamakan suara rakyatnya di banding kepentingan pimpinannya. Tetapi pada kenyataanya di Indonesia tidak berjalan seperti teorinya. Justru pelayanan publik berjalan ketika demokrasi di singkirkan. Para pejabat sekarang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya daripada kepentingan publik atau rakyat. Padahal dulu pada jaman pemerintahan Soeharto pelayanan publik lebih baik. Hal itu di karenakan adanya pengawasan dan kontrol langsung oleh pemerintah pusat, dulu jika perintah itu tidak di laksanakan maka akan di tindak langsung.

resume,kuliah umum

Pada hari jumat, tanggal 14 maret 2008, kami mendapat tugas untuk membuat resume dari kuliah yang disampaikan perwakilan DPRD Sleman yang bernama Richard Riwoe, yang berasal dari fraksi Partai Demokrat Damai Sejahtera. Richard merupakan pimpinan fraksi partai democrat damai sejahtera untuk periode 2007-2009 yang pada periode pemilihan gubernur tahun ini di NTT, dia dicalonkan sebagai Cagub untuk periode mendatang. Richard merupakan orang yang teguh dalam hidupnya, mulai dari SMU sampai dia menjadi anggota dewan, Richard sudah mandiri dengan melakukan pembiayaan sekolahnya dengan mencari biaya sendiri. Richard lulus S1 dari teknik sipil, yang oleh sebab itu dia di tempatkan sebagai pimpinan komisi pembangunan di Sleman. Dalam kuliahnya, Richard memberikan informasi tentang implementasi kebijakan yang di lakukan di Sleman.

Tugas pertama Richard bersama rekan-rekannya setelah menjabat sebagai anggota dewan yakni membuat Perda tentang kost-kostan dan perda tentang minuman keras yang lebih tepatnya tentang perda pelarangan penjualan miras yang telah di jual bebas di masyarakat secara terang-terangan. Perda-perda tersebut merupakan permasalahan social yang terjadi di kota jogja beberapa tahun terakhir. Richard juga mengungkapkan bahwa korupsi di dunia politik sering dengan cara yang halus ataupun kasar. Untuk cara yang halus, maka transaksi korupsi tersebut di lakukan dengan pendekatan-pendekatan yang di tujukan kepada penguasa atau pemimpin yang sedang menjabat dan dia mempunyai wewenang dalam hubungannya dengan proyek. Apabila cara halus tidak dapat terlaksana, maka cara yang kasar akan di laksanakan yaitu dengan cara membuat isu-isu yang tidak baik kepada pimpinan yang sedang menjabat. Cara-cara seperti itu yang membuat korupsi sulit untuk di tumpas.

Richard memberikan beberapa criteria untuk menjadi seorang pemimpin yang mampu mengubah bangsa ini, criteria tersebut seperti orang yang kreatif dan pandai dalam melakukan diplomasi dengan baik. Seperti Richard, dia berbeda denga calon-calon yang lain yakni dia melakukan kampanye dalam pemilihan dewan kemarin dengan usaha dia sendiri dan dia tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Richard mengkatagorikan umur yakni antara 17 tahun sampai 50 tahun adalah masa yang produktif, dan pada umur 35 tahun adalah letak di mana seseorang sudah benar-benar matang untuk melakukan perubahan serta mempunyai idiologi yang masih semangat untuk mewujudkannya. Seperti grafik yang di ungkapkannya,

Seorang pemimpin yang mampu mengubah bangsa ini ialah pemimpin yang harus berani dalam membuat keputusan atau kebijakan sesuai dengan keadaan bangsa ini. Untuk bisa menjadi seorang pembuat kebijakanyang pandai, yang mana kebijakan tersebut menyangkut masyarakat luas, kita harus mulai dengan pandai membuat kebijakan untuk diri kita sendiri. Sebagi contoh, kita harus bias menentukan kemana kita setelah lulus kuliah. Kita harus punya focus tujuan yang jelas. Selain itu kita juga harus tegas. Ini menjadi sesuatu yang penting, dan ini harus kita mulai pada saat kita masih muda. Karena apa? Karena pada usia muda, kita masih memiliki gairah untuk menentukan masa depan. Dalam teori psikologi, usia 17-35 tahun merupakan usia emas seseorang untuk dapat mencapai sesuatu yang diinginkan. Untuk itu, selagi masih muda kita harus tegas dalam membuat keputusan yang akan menentukan masa depan kita. Setelah kita pandai dalam hal itu, baru kita bias menuju ke arah pembuatan kebijakan yang menyangkut orang lain.

problema pembangunan

PENDAHULUAN

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan di perdesaan menghadapi berbagai masalah yang tidak sederhana. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, lebih kurang 51 ribu desa merupakan desa perdesaan, dan sekitar 20.633 desa diantaranya tergolong miskin. Kemiskinan yang diderita masyarakat desa, khususnya petani dan nelayan tradisional, antara lain akibat pengurasan asset perdesaan selama ini. Berbagai pemberdayaan perekonomian rakyat di perdesaan kurang berhasil, dan kemiskinan itu sudah diterimanya sebagai warisan yang turun temurun. Ada kondisi yang dilematis, muncul perilaku ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraannya sendiri. Kreativitas dan prakarsa masyarakat rendah. Itulah persoalan yang rata-rata terjadi di perdesaan.[1]

Pembangunan dan perkembangan perdesaan jauh tertinggal dibandingkan dengan perkotaan. Sentra-sentra kegiatan ekonomi utama perdesaan yang berbasis pada agrobisnis dan pemanfaatan sumber daya alam belum berkembang secara optimal. Sektor ekonomi lainnya, seperti industri kecil dan kerajinan rakyat masih sangat terbatas. Sarana dan prasarana perdesaan, terutama jaringan jalan, air bersih den sanitasi sangat tidak memadai. Selain itu sarana dan prasarana pengairan yang telah dibangun serta ditangani pemerintah dalam kondisi kurang terpelihara.

Dapat diambil contoh Kabupaten Gunungkidul yang merupakan salah satu dari 5 kabupaten/kota di Propinsi D.I. Yogyakarta. Daerah Gunungkidul identik dengan wilayah pedesaan. Persoalan yang dihadapi Gunungkidul sampai dengan saat ini adalah problema kemiskinan. Masalah kemiskinan di Gunungkidul antara lain ditandai oleh jumlah penduduk dan keluarga yang masuk dalam kategori miskin masih cukup tinggi (28,06% penduduk masuk kategori penduduk miskin). Selain itu, kemiskinan bias dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2006 hanya sebesar 69,5.

Gambaran demografis penduduk Gunungkidul, dari total 759.859 jiwa penduduknya, lebih dari 50% hanya berpendidikan Sekolah Dasar, dan ada sekitar 6,3% dari total penduduk merupakan warga yang masih buta huruf. Sebanyak 69% penduduk Gunungkidul sebagai petani dan peternak, 18% berkecimpung dalam sector perdagangan, usaha dan jasa, sisanya merupakan kelompok buruh, karyawan, dll.[2]

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.[3]

IDENTIFIKASI PENYEBAB MASALAH

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.[4]

Beberapa faktor utama penyebab semakin terpuruknya kondisi ekonomi masyarakat desa itu (petani, nelayan, perajin, peternak dan buruh):

1. Kuatnya posisi pedagang perantara yang didukung oleh birokrat perdesaan yang juga turut menikmati sebagian keuntungan dari mekanisme pasar yang tidak berpihak pada petani.

2. Seluruh pasar baik lokal, regional maupun eksport umumnya telah dikuasai pedagang dengan distribusi income yang semakin tidak adil bagi produsen di perdesaan.

3. Bantuan-bantuan pemerintah seperti JPS sangat kecil yang benar-benar sampai kepada masyarakat yang menjadi target.

4. Tingkat pendidikan masyarakat desa yang relatif rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam upaya meningkatkan teknologi untuk mengefisiensikana kegiatan ekonomi mereka.

Selain itu seseorang bisa menjadi miskin karena tidak mempunyai hal berikut ini :

1. Akses, yang memungkinkan seseorang untuk menjangkau wilayah lapangan pekerjaan.

2. skill, yang memungkinkan seseorang untuk dapat menghasilkan suatu aktivitas yang digunakan dalam memperoleh nafkah atau melaksanakan suatu aktivitas pekerjaan tersebut.

3. Modal, yang memungkinkan seseorang untuk berwiraswasta, untuk mendukung dalam pemenuhan kebutuhan suatu aktivitas pekerjaan.

4. Proteksi, yang memungkinkan seseorang memperoleh perlindungan maupun pengakuan dari pihak berwenang atas pekerjaan yang dilakukan tersebut.

Dapat dijelaskan dengan bagan perangkap kemiskinan yang dipaparkan oleh R. Chamber seperti dibawah ini:

è Lemah fisik dapat dijelaskan sebagai berikut: Selama ini pembangunan fisik tanpa pengikutsertaan partisipasi masyarakat. Pola demikian paling mungkin menjadi penyebab rendahnya kreativitas dan prakarsa masyarakat, bahkan "membudayanya" perilaku ketergantungan itu tadi. Apalagi pembangunan fisik yang dilakukan tanpa dibarengi pengembangan SDM. Ditambah lagi dengan pembangunan perdesaan belum didasarkan pada sisi kebutuhan saja, sehingga efisiensinya tidak optimal. Permasalahan yang juga serius adalah kerusakan lingkungan di perdesaan semakin meluas. Hal itu akibat pemanfaatan sumber daya alam serta usaha agrobisnis yang kurang didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi, penyebab terjadinya berbagai macam bencana yang menimpa masyarakat perdesaan. Dalam segi produktivitas, harus diakui bahwa penguasaan teknologi dan SDM belum memadai, sehingga produktivitas petani masih rendah, tidak mampu menghasilkan produk olahan dan komoditas primer pertanian yang bernilai tambah lebih tinggi.

è Isolasi dapat dijelaskan sebagai berikut: Sebenarnya banyak bidang usaha ekonomi kerakyatan yang bersifat massal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat desa sendiri, tetapi kenyataan masyarakat perdesaan hanya menjadi penonton di luar arena. Karena bidang-bidang itu pun ditangani oleh para pengusaha besar. Padahal seharusnya pengusaha besar itu dapat berperan dalam pembinaan dan pemasarannya saja. Tetapi pada kenyataannya masyarakat desa terisolasi dengan keberadaan pengusaha besar tersebut sehingga sulit untuk mengembangkan usaha pada bidang-bidang tertentu.

Dari penjelasan kedua faktor tersebut sehingga mengakibatkan timbulnya kemiskinan (miskin), kemiskinan tersebut akan berpeluang menimbulkan kerentanan (rentan) terhadap berbagai hal-hal negatif, misal: kelaparan, kebodohan, dan lain-lain, hingga sampai pada kematian. Sehingga kemungkinan terburuk akan membuat seseorang tidak berdaya dalam segi apapun untuk bangkit dari sebuah keterpurukan.

REKOMENDASI

Beberapa rekomendasi dalam upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara antara lain: Pertama, mengingat sifat kemiskinan di Indonesia, dengan memusatkan perhatian pada beberapa bidang prioritas dapat diperoleh keberhasilan dalam melawan kemiskinan dan rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil minyak dan gas bumi, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan meraih keuntungan dari peningkatan penerimaan negara berkat melonjaknya harga minyak dan pengurangan subsidi BBM. Ketiga, Indonesia bisa memetik manfaat yang lebih besar lagi dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang masih terus berlangsung.[5]

Dapat didukung dengan berbagai rekomendasi alternatif kebijakan yang bisa membuat perubahan-perubahan tersebut dapat efektif mengurangi kemiskinan:

Ø Pertama, seiring dengan pertumbuhan, perekonomian Indonesia diharapkan berubah dari perekonomian yang mengandalkan sektor pertanian menjadi perekonomian yang akan lebih banyak mengandalkan sektor jasa dan industri. Prioritas untuk membuat pertumbuhan tersebut berfaedah bagi masyarakat miskin adalah iklim investasi yang lebih ramah di pedesaan, terutama melalui jaringan jalan pedesaan yang lebih baik.

Ø Kedua, seiring menguatnya demokrasi, pemerintah diharapkan berubah dari penyedia sebagian besar layanan oleh pusat menjadi pemerintah yang akan lebih banyak mengandalkan pemerintah daerah. Untuk membuat layanan bermanfaat bagi masyarakat miskin, prioritasnya adalah peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan insentif yang lebih baik bagi penyedia layanan.

Ø Ketiga, seiring dengan integrasi Indonesia kedalam dunia internasional, sistem perlindungan sosialnya dimodernisir sehingga secara sosial Indonesia menjadi setara dan kompetitif di bidang ekonomi. Prioritas untuk membuat pengeluaran pemerintah bermanfaat bagi masyarakat miskin adalah bergeser dari intervensi pasar untuk komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin (seperti BBM dan beras) menjadi bantuan pendapatan yang terarah bagi rumah tangga miskin, dan menggunakan kelonggaran fiskal untuk memperbaiki layanan yang penting seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi.[6]

KESIMPULAN

Dari data yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih rentan dengan kemiskinan terutama di wilayah pedesaan. Masalah kemiskinan pedesaan yang terus ada dan bersifat khas dianggap sebagai warisan nenek moyang secara turun-temurun oleh mayoritas masyarakat miskin pedesaan, sehingga dibutuhkan berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang berorientasi masa depan.

Digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan fiskal untuk menanganinya, Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih kemajuan yang berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Prioritas penanganan kemiskinan tersebut dapat dimulai dari berbagai tindakan diperlukan di beberapa bidang untuk penanganan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu (i) mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan, (ii) memperkuat kemampuan sumber daya manusia, dan (iii) mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan juga (iv) memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.[7] Terlaksananya beberapa prioritas tersebut diharapkan mampu mengentaskan Indonesia dari kemiskinan dan menjadikan wilayah pedesaan Indonesia senantiasa memperoleh lebih kemakmuran.



[1] www.worldbank.org

[2] Maarif, A. Syafii. 2007. Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Maarif Institute.

[3] Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

[4] Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

[5] www.worldbank.org

[6] www.worldbank.org

[7] www.worldbank.org

KEJAHATAN KORPORASI

Latar Belakang

Berdasarkan isu-isu penting dalam berbagai film dokumenter menjelaskan tentang fakta berbagai permasalahan kemiskinan dan keterpurukan yang menimpa bangsa Indonesia. Kemiskinan dan keterpurukan di Indonesia sudah ada sejak masa perjuangan bangsa Indonesia terdahulu, dimana bangsa Indonesia mengalami berbagai penindasan dari kaum penjajah, menjadi sasaran para kaum penjajah untuk mempekerjakan rakyat Indonesia sebagai buruh lembur dengan upah kecil, penguasaan tanah rakyat secara paksa, pembelian hasil alam Indonesia dengan harga rendah, perampasan harkat dan martabat bangsa Indonesia pada umumnya. Pada masa G30S-PKI para tokoh nasionalis dan pejuang bangsa Indonesia pemberontak kaum penjajah dibunuh secara kejam. Menjadi bukti keterpurukan bangsa Indonesia di mata dunia.

Kemunduran bangsa Indonesia merupakan dampak dari rezim penguasa sebelumnya, dimana pada saat lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden Indonesia digantikan oleh Soeharto sebagai presiden Indonesia yang baru. Tabiat Presiden Soeharto yang menggambarkan kemajuan bangsa Indonesia dengan kepemimpinan otoriternya dan menjalankan kerjasama dengan negara adikuasa Amerika Serikat dan Inggris, memberikan bukti memajukan pertanian Indonesia, pembelian berbagai perlengkapan militer, nilai rupiah atas dolar berada antara di bawah Rp 2.000,- dan sebagainya, hingga Indonesia disebut sebagai calon Macan Asia pada masanya. Namun ternyata dibalik itu lambat laun berdampak buruk terhadap bangsa Indonesia, karena menyimpan hutang luar negeri yang sangat besar jumlahnya. Disamping pihak Soeharto, terdapat juga para pejabat elite politik Indonesia yang korup, pembayaran pajak yang pada kenyataannya dibebankan kepada rakyat ternyata sebagian besar bukan untuk pembayaran hutang negara melainkan masuk kantong keluarga Soeharto. Dalam fakta yang terungkap 1/3 utang Indonesia atas World Bank sebesar 8 Milyar Dolar berada ditangan Soeharto untuk kepentingan pribadi, hingga pada akhirnya pada tahun 1997 Soeharto lengser dengan berhasil merampok 15 Milyar Dolar selama masa kepemimpinannya, sehingga menjadi tanggungan utang luar negeri Indonesia di era selanjutnya yang dibebankan kepada rakyat Indonesia.

Pembahasan Masalah

Permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia disebabkan oleh pelaku elite politik Indonesia terdahulu yang cenderung kurang bertanggung jawab dengan kecenderungan korup berdampak terhadap rakyat Indonesia hingga saat ini dan sulit terpecahkan. Indonesia pada dasarnya mempunyai potensi lebih yang dapat dikembangkan, pada kenyataannya kekayaan di Indonesia ternyata bertolak belakang terhadap kemajuan namun lebih akrab pada kemiskinan karena tidak ada karakter di Indonesia. Bisa dilihat banyaknya pengusaha kaya yang menghambur-hamburkan uang untuk mengadakan suatu macam pesta perayaan, tetapi di lain pihak di luar sana masih terdapat kurang lebih 70 juta rakyat miskin di Indonesia yang membutuhkan santunan, sehingga terdapat kesenjangan sosial. Selain itu permasalahan tempat tinggal tidak layak huni, sanitasi kumuh, penghasilan dan pengeluaran tidak seimbang merupakan masalah yang seringkali menimpa rakyat Indonesia.

Fenomena yang terjadi di Indonesia, miskin makin miskin, pelayanan publik tidak maksimal karena dana lebih dialokasikan untuk pembayaran hutang negara akibat ulah elite politik korup terdahulu. Kaya makin kaya karena terdapat investasi tinggi di Indonesia dan upah buruh relatif murah sehingga menarik minat investor asing untuk menguasai pangsa pasar di Indonesia. Etika perusahaan di Indonesia tidak dapat diterapkan dengan baik, karena pemerintah sendiri (elite politik) mengatakan “buruh murah” untuk menarik investor asing, sehingga banyak pengangguran terutama bagi investor dalam negeri. Seperti pada kenyataannya kasus beberapa perusahaan asing Nike, Reebok, Adidas, serta GAP yang mempekerjakan buruh Indonesia bisa lebih dari 24 jam/hari tergantung target pesanan. Tidak seimbang dengan upah kerja yang diterima, disamping itu juga para pekerja Indonesia juga rentan terhadap bahaya kekerasan karena kecenderungan tidak menghargai hak berserikat dan hak-hak pekerja.

Penajaman Masalah

Berpedoman Dependency Theory (Teori Ketergantungan) dijelaskan bahwa ketergantungan adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara lain. Negara tersebut tersebut hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Konsep ketergantungan memperlihatkan bahwa situasi internal suatu negara sebagai bagian dari ekonomi dunia. Imperialisme merupakan akar dari ketergantungan karena surplus ekonomi negara terjajah dibawa ke negara imperialist. Ekspansi kaum kapitalis dunia menciptakan ketergantungan karena menciptakan pasar yang monopolistik, misal: World Bank dan IMF menerapkan hutang untuk membantu penerapan kebijakan terutama kepada negara berkembang, privatisasi BUMN oleh IMF dan World Bank.

Pemikiran Paul Baran

  • Hubungan antara negara maju dengan negara berkembang menyebabkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju
  • Sistem ekonomi kapitalis & imperialisme menyebabkan keterbelakangan negara berkembang.
  • Surplus ekonomi dari industri kapitalis asing di negara berkembang dibawa ke negara maju.
  • Kapitalis asing sering menggandeng tuan tanah/penguasa & pedagang di negara berkembang.
  • Pemerintah biasanya mensuport kapitalis asing
  • Rakyat kecil dirugikan.

Pemikiran Raul Prebisch

  • Teori pembagian kerja secara Internasional, yang didasarkan pada teori keunggulan komparatif (comparative advantage) telah menyebabkan negara di dunia melakukan spesialisasi produksinya.
  • Negara pusat (center) menghasilkan barang industri, sedangkan negara pinggiran (periphery) memproduksi hasil pertanian.
  • Ada penurunan nilai tukar komoditi pertanian terhadap barang industri
  • Terjadi defisit neraca perdagangan di negara pinggiran.
  • Negara industri melakukan proteksi terhadap hasil pertanian, sehingga sulit bagi negara pertanian menjual hasil produksinya.
  • Kemajuan teknologi telah menyebabkan negara pusat menghasilkan bahan mentah sintesis sehingga mengurangi import dari negara pertanian (pinggiran).
  • Ketika income masyarakat di negara pertanian meningkat akan menambah permintaan akan barang-barang industri

Monopoli teknologi di negara maju menyebabkan negara berkembang harus membayar sewa, yakni sewa hak paten. Ini berarti ada surplus ekonomi dari negara berkembang ke negara maju.

Beberapa penjelasan tersebut berbanding lurus dengan fakta yang menggambarkan permasalahan di Indonesia. Akibat ulah dari para elite politik terdahulu membuat Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai kecenderungan tergantung terhadap negara maju ataupun para investor asing dengan kewajiban hutang yang harus dilunasi dikemudian hari terutama dibebankan oleh rakyat Indonesia. Hutang yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan memajukan kualitas pelayanan publik, tapi kenyataannya hanya menjadi jatah korup para elite politik yang tidak bertanggung jawab dalam mengemban tugasnya.

Pada dasarnya Indonesia mempunyai kekayaan potensi mineral yang dapat dimanfaatkan namun atas tidak adanya karakter yang dapat dikembangkan oleh bangsa Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kecenderungan ketergantungan dengan negara maju sehingga investasi yang seharusnya dimiliki Indonesia seutuhnya, hanya dimanfaatkan oleh investor asing yang mengakibatkan Indonesia semakin mengalami keterpurukan dan hanya dibebankan sebagai aset bagi negara maju untuk menguasai investasi yang dimiliki Indonesia.

Akibat dari beberapa permasalahan terdahulu tersebut yang menyebabkan Indonesia sulit terlepas dari belenggu kemiskinan dan keterpurukan hingga saat ini karena warisan kesalahan penerapan sistem ekonomi dan kurangnya pertanggung jawaban para elite politik Indonesia yang bermasalah terdahulu.

Kesimpulan

Berdsarkan isu-isu penting yang telah dibahas menjelaskan dunia mengalami bangkitnya imperialisme ekonomi yang dilancarkan negara-negara Barat, negara-negara eks kolonialis, lewat apa yang dinamakan globalisasi. IMF dan World Bank adalah dua institusi pilar rekayasa globalisasi. Dimana negara terjajah semakin terpuruk atas kekuasaan negara penjajah. Investasi dalam negeri yang semestinya dapat dinikmati seutuhnya oleh rakyat, namun pada kenyataannya hanya menimbulkan kesengsaraan akibat ulah penguasaan para investor asing yang lebih parahnya didukung oleh pemerintah sehingga berdampak buruk pada rakyat yang cenderung disebut sebagai “buruh murah”. Ketergantungan ekonomi menjadi akar surplus ekonomi yang dimiliki negara berkembang lebih menjadikan aset bagi negara imperialist. Potensi yang dimiliki negara berkembang tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena berbagai kebijakan yang diterapkan oleh IMF dan World Bank cenderung merugikan negara tersebut.

Dalam usaha pengentasan Indonesia dari kemiskinan dan keterpurukan dapat diambil beberapa alternatif tindakan antara lain: (1) Renegosiasi terhadap pembayaran hutang luar negeri harus dilakukan dengan pertimbangan selain sebagian dari hutang luar negeri merupakan hutang yang tidak rasional, juga bila dihitung kembali, seluruh cicilan yang telah dibayar selama ini sudah jauh melampaui jumlah hutang yang pernah diambil. (2) Kepemimpinan saat ini harus berani merombak total kebijakan ekonomi Indonesia; dari kebijakan sekarang yang memuja investor asing menjadi kebijakan ekonomi yang pro-rakyat dan pro-pelaku usaha dalam negeri.

Selasa, 16 September 2008

Problema Pembangunan Pedesaan

PENDAHULUAN

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan di perdesaan menghadapi berbagai masalah yang tidak sederhana. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, lebih kurang 51 ribu desa merupakan desa perdesaan, dan sekitar 20.633 desa diantaranya tergolong miskin. Kemiskinan yang diderita masyarakat desa, khususnya petani dan nelayan tradisional, antara lain akibat pengurasan asset perdesaan selama ini. Berbagai pemberdayaan perekonomian rakyat di perdesaan kurang berhasil, dan kemiskinan itu sudah diterimanya sebagai warisan yang turun temurun. Ada kondisi yang dilematis, muncul perilaku ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraannya sendiri. Kreativitas dan prakarsa masyarakat rendah. Itulah persoalan yang rata-rata terjadi di perdesaan.

Pembangunan dan perkembangan perdesaan jauh tertinggal dibandingkan dengan perkotaan. Sentra-sentra kegiatan ekonomi utama perdesaan yang berbasis pada agrobisnis dan pemanfaatan sumber daya alam belum berkembang secara optimal. Sektor ekonomi lainnya, seperti industri kecil dan kerajinan rakyat masih sangat terbatas. Sarana dan prasarana perdesaan, terutama jaringan jalan, air bersih den sanitasi sangat tidak memadai. Selain itu sarana dan prasarana pengairan yang telah dibangun serta ditangani pemerintah dalam kondisi kurang terpelihara.

Dapat diambil contoh Kabupaten Gunungkidul yang merupakan salah satu dari 5 kabupaten/kota di Propinsi D.I. Yogyakarta. Daerah Gunungkidul identik dengan wilayah pedesaan. Persoalan yang dihadapi Gunungkidul sampai dengan saat ini adalah problema kemiskinan. Masalah kemiskinan di Gunungkidul antara lain ditandai oleh jumlah penduduk dan keluarga yang masuk dalam kategori miskin masih cukup tinggi (28,06% penduduk masuk kategori penduduk miskin). Selain itu, kemiskinan bias dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2006 hanya sebesar 69,5.

Gambaran demografis penduduk Gunungkidul, dari total 759.859 jiwa penduduknya, lebih dari 50% hanya berpendidikan Sekolah Dasar, dan ada sekitar 6,3% dari total penduduk merupakan warga yang masih buta huruf. Sebanyak 69% penduduk Gunungkidul sebagai petani dan peternak, 18% berkecimpung dalam sector perdagangan, usaha dan jasa, sisanya merupakan kelompok buruh, karyawan, dll.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

IDENTIFIKASI PENYEBAB MASALAH

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Beberapa faktor utama penyebab semakin terpuruknya kondisi ekonomi masyarakat desa itu (petani, nelayan, perajin, peternak dan buruh):

1. Kuatnya posisi pedagang perantara yang didukung oleh birokrat perdesaan yang juga turut menikmati sebagian keuntungan dari mekanisme pasar yang tidak berpihak pada petani.

2. Seluruh pasar baik lokal, regional maupun eksport umumnya telah dikuasai pedagang dengan distribusi income yang semakin tidak adil bagi produsen di perdesaan.

3. Bantuan-bantuan pemerintah seperti JPS sangat kecil yang benar-benar sampai kepada masyarakat yang menjadi target.

4. Tingkat pendidikan masyarakat desa yang relatif rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam upaya meningkatkan teknologi untuk mengefisiensikana kegiatan ekonomi mereka.

Selain itu seseorang bisa menjadi miskin karena tidak mempunyai hal berikut ini :

1. Akses, yang memungkinkan seseorang untuk menjangkau wilayah lapangan pekerjaan.

2. skill, yang memungkinkan seseorang untuk dapat menghasilkan suatu aktivitas yang digunakan dalam memperoleh nafkah atau melaksanakan suatu aktivitas pekerjaan tersebut.

3. Modal, yang memungkinkan seseorang untuk berwiraswasta, untuk mendukung dalam pemenuhan kebutuhan suatu aktivitas pekerjaan.

4. Proteksi, yang memungkinkan seseorang memperoleh perlindungan maupun pengakuan dari pihak berwenang atas pekerjaan yang dilakukan tersebut.

Dapat dijelaskan dengan bagan perangkap kemiskinan yang dipaparkan oleh R. Chamber seperti dibawah ini:

è Lemah fisik dapat dijelaskan sebagai berikut: Selama ini pembangunan fisik tanpa pengikutsertaan partisipasi masyarakat. Pola demikian paling mungkin menjadi penyebab rendahnya kreativitas dan prakarsa masyarakat, bahkan "membudayanya" perilaku ketergantungan itu tadi. Apalagi pembangunan fisik yang dilakukan tanpa dibarengi pengembangan SDM. Ditambah lagi dengan pembangunan perdesaan belum didasarkan pada sisi kebutuhan saja, sehingga efisiensinya tidak optimal. Permasalahan yang juga serius adalah kerusakan lingkungan di perdesaan semakin meluas. Hal itu akibat pemanfaatan sumber daya alam serta usaha agrobisnis yang kurang didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi, penyebab terjadinya berbagai macam bencana yang menimpa masyarakat perdesaan. Dalam segi produktivitas, harus diakui bahwa penguasaan teknologi dan SDM belum memadai, sehingga produktivitas petani masih rendah, tidak mampu menghasilkan produk olahan dan komoditas primer pertanian yang bernilai tambah lebih tinggi.

è Isolasi dapat dijelaskan sebagai berikut: Sebenarnya banyak bidang usaha ekonomi kerakyatan yang bersifat massal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat desa sendiri, tetapi kenyataan masyarakat perdesaan hanya menjadi penonton di luar arena. Karena bidang-bidang itu pun ditangani oleh para pengusaha besar. Padahal seharusnya pengusaha besar itu dapat berperan dalam pembinaan dan pemasarannya saja. Tetapi pada kenyataannya masyarakat desa terisolasi dengan keberadaan pengusaha besar tersebut sehingga sulit untuk mengembangkan usaha pada bidang-bidang tertentu.

Dari penjelasan kedua faktor tersebut sehingga mengakibatkan timbulnya kemiskinan (miskin), kemiskinan tersebut akan berpeluang menimbulkan kerentanan (rentan) terhadap berbagai hal-hal negatif, misal: kelaparan, kebodohan, dan lain-lain, hingga sampai pada kematian. Sehingga kemungkinan terburuk akan membuat seseorang tidak berdaya dalam segi apapun untuk bangkit dari sebuah keterpurukan.

REKOMENDASI

Beberapa rekomendasi dalam upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara antara lain: Pertama, mengingat sifat kemiskinan di Indonesia, dengan memusatkan perhatian pada beberapa bidang prioritas dapat diperoleh keberhasilan dalam melawan kemiskinan dan rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil minyak dan gas bumi, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan meraih keuntungan dari peningkatan penerimaan negara berkat melonjaknya harga minyak dan pengurangan subsidi BBM. Ketiga, Indonesia bisa memetik manfaat yang lebih besar lagi dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang masih terus berlangsung.

Dapat didukung dengan berbagai rekomendasi alternatif kebijakan yang bisa membuat perubahan-perubahan tersebut dapat efektif mengurangi kemiskinan:

Ø Pertama, seiring dengan pertumbuhan, perekonomian Indonesia diharapkan berubah dari perekonomian yang mengandalkan sektor pertanian menjadi perekonomian yang akan lebih banyak mengandalkan sektor jasa dan industri. Prioritas untuk membuat pertumbuhan tersebut berfaedah bagi masyarakat miskin adalah iklim investasi yang lebih ramah di pedesaan, terutama melalui jaringan jalan pedesaan yang lebih baik.

Ø Kedua, seiring menguatnya demokrasi, pemerintah diharapkan berubah dari penyedia sebagian besar layanan oleh pusat menjadi pemerintah yang akan lebih banyak mengandalkan pemerintah daerah. Untuk membuat layanan bermanfaat bagi masyarakat miskin, prioritasnya adalah peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan insentif yang lebih baik bagi penyedia layanan.

Ø Ketiga, seiring dengan integrasi Indonesia kedalam dunia internasional, sistem perlindungan sosialnya dimodernisir sehingga secara sosial Indonesia menjadi setara dan kompetitif di bidang ekonomi. Prioritas untuk membuat pengeluaran pemerintah bermanfaat bagi masyarakat miskin adalah bergeser dari intervensi pasar untuk komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin (seperti BBM dan beras) menjadi bantuan pendapatan yang terarah bagi rumah tangga miskin, dan menggunakan kelonggaran fiskal untuk memperbaiki layanan yang penting seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi.

KESIMPULAN

Dari data yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih rentan dengan kemiskinan terutama di wilayah pedesaan. Masalah kemiskinan pedesaan yang terus ada dan bersifat khas dianggap sebagai warisan nenek moyang secara turun-temurun oleh mayoritas masyarakat miskin pedesaan, sehingga dibutuhkan berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang berorientasi masa depan.

Digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan fiskal untuk menanganinya, Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih kemajuan yang berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Prioritas penanganan kemiskinan tersebut dapat dimulai dari berbagai tindakan diperlukan di beberapa bidang untuk penanganan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu (i) mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan, (ii) memperkuat kemampuan sumber daya manusia, dan (iii) mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan juga (iv) memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin. Terlaksananya beberapa prioritas tersebut diharapkan mampu mengentaskan Indonesia dari kemiskinan dan menjadikan wilayah pedesaan Indonesia senantiasa memperoleh lebih kemakmuran.