Jumat, 18 April 2008

kapitalisasi bulog

Kehadiran Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga pangan memiliki arti khusus dalam menunjang keberhasilan Orde Baru sampai tercapainya swasembada beras tahun 1984. Menjelang Repelita I (1 April 1969), struktur organisasi Bulog diubah dengan Keppres RI No.11/1969 tanggal 22 januari 1969, sesuai dengan misi barunya yang berubah dari penunjang peningkatan produksi pangan menjadi buffer stock holder dan distribusi untuk golongan anggaran. Kemudian dengan Keppres No.39/1978 tanggal 5 Nopember 1978 Bulog mempunyai tugas pokok melaksanakan pengendalian harga beras, gabah, gandum dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga, baik bagi produsen maupun konsumen sesuai dengan kebijaksanaan umum Pemerintah.

Swasembada beras pada era pemerintahan Soeharto adalah perpaduan dari perluasan lahan budi daya melalui transmigrasi dan intensifikasi atau yang lebih populer dengan sebutan revolusi hijau. Keberhasilan revolusi hijau untuk meningkatkan produksi beras tidak diragukan lagi, khsususnya di Jawa petani dapat menghasilkan dua kali lipat dibandingkan pada masa akhir 1960-an.

Di masa pemerintahan orde baru, seluruh kebijakan pertanian Soeharto berorientasi untuk swasembada beras. Revolusi Hijau yang diawali dengan penemuan mutakhir di bidang agronomi yang mengenalkan varietas padi bersiklus pendek dengan hasil tinggi menjadi faktor pendukung keberhasilan program swasembada beras pemerintah orde baru. Program revolusi hijau adalah proyek ambisius pemerintah orde baru yang memerlukan dukungan biaya yang cukup tinggi. Biaya tidak hanya untuk varietas padi, tetapi juga meliputi rekrutmen dan pelatihan penyuluh pertanian, subsidi sarana produksi, perbaikan infrastukrtur dan stabilisasi pasar.

Disini dapat terlihat peran dari Bulog yang sangat menentukan. Di era tersebut Bulog dapat menyerap seluruh gabah dari petani secara langsung. Kemudian Bulog juga dapat menjaga kestabilan harga ganah yang menguntungkan petani serta harga beras yang dapat dijangkau oleh semua kalangan, termasuk kaum dibawah garis kemiskinan. Peran Bulog juga tidak hanya sampai disitu, untuk membantu para petani Bulog juga telah menyiapkan bibit padi dengan kualitas terjamin dan pupuk dalam jumlah besar yang sengaja disiapkan untuk para petani dengan harga yang terjangkau sehingga semakin mempermudah para petani dalam melakukan pekerjaannya.

Untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahan, rezim orde baru membuka keran impor dan bantuan luar negeri luas-luas untuk impor beras. Setelah kepercayaan ini diraih dan stabilitas teraih. Orba merevitalisasi peran bulog untuk menopang harga beras agar terjangkau, dengan tugas dan struktur organisasi yang diperluas.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di era reformasi saat ini. Disaat Bulog diharapkan mampu menjaga peranannya, namun yang terjadi dilapangan memperlihatkan bahwa Bulog mulai kehilangan arah dari fungsinya sendiri. Fenomena keterbukaan sekarang tentu sangat menyulitkan bagi Bulog dan pemerintah untuk mengisolasi pasar beras dari pengaruh pergerakan harga di tingkat global. Menariknya, status monopoli Bulog justru berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga gabah pada era Orde Baru, tetapi tidak sama sekali sejak era Reformasi (lihat Arifin, 2007).

Selanjutnya, mekanisme kerja antara pengelolaan cadangan pangan pokok dan stabilisasi harga pangan regional belum terbangun secara sistematis. Apalagi, amanat pengelolaan tersebut diperluas dengan menyerahkan pada pasar, seperti gula dan minyak goreng yang masih sering mengalami distorsi yang meresahkan.

Hal ini tidak terlepas dari bisnis Bulog yang dinilai masyarakat sangat vital karena menyangkut pengadaan, penyangga dan pendistribusian beras. Kegiatan ini menjadi makin penting sebab semua itu berkaitan dengan stabilitas harga yang ingin dicapai. Terjaganya stabilitas harga akan meningkatkan kesejahteraan petani produsen, agar nasib petani tidak terus menerus terpuruk, dan harga dipermainkan baik oleh tengkulak maupun masuknya beras impor.

Peranan Bulog di era orde baru menunjukan adanya intervensi pemerintah di bidang pertanian termasuk perberasan diperluas cakupan pada sisi produksi dan kesejahteraan petani. Sepanjang tahun 1970 an hingga awal 1980an, investasi besar-besaran pada infrasturuktur pertanian, pengembangan benih unggul serta pestisida, dan subsisi pada pupuk untuk petani. Pembangunan infrastruktur pertanian dan pengembangan teknik-teknik pertanian serta subsidi pada petani ini kemudian dikenal sebagai the green revolution, revolusi hijau di bidang pertanian.

Hal tersebut berbeda dibandingkan sekarang dimana pemerintah mulai mengurangi intervensinya di bidang pertanian dan lebih menyerahkannya ke pasar sesuai dengan perkembangan pasar bebas di era liberalisasi ini. Ditambah lagi dengan kebijakan impor beras yang ditetpakan oleh pemerintah. Hal ini tentunya sangat merugikan rakyat terutama kaum petani.

Selama ini, pemerintah melalui Bulog membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras, yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar,yang bertindak sebagai oligopolis pasar.
Jumlah penjual yang sangat terkonsentrasi ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah atau beras, yang merupakan peningkatan defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar dinikmati segelintir pedagang.
Ilustrasi menarik tentang kekuatan oligopoli pedagang beras ini dengan sangat gamblang diberikan dalam satu tulisan Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurthi, di Harian Republika (24/01/2006). Menurut Bayu, Bulog hanya mampu menyerap sekitar 10 ton dari surplus yang dikabarkan mencapai 2,7 juta ton pada tahun 2005. Selebihnya ditahan oleh para pedagang untuk berbagai alasan.
Tarik menarik antara Bulog dan pedagang beras inilah yang kemudian menyebabkan melambungnya harga di tingkat konsumen. Dengan hanya sedikit saja manfaatnya, kalau pun ada bagi petani. Hal ini mengingat sebagian besar petani tidak menyimpan gabah atau beras untuk dijual.

Para pengusaha berperan besar dalam menentukan harga dan pasar beras. Kondisi ini menyebabkan petani tidak bisa melakukan akses langsung (menjual,red) padi atau berasnya ke Badan Urusan Logistik Bulog). "Akibatnya mereka bisa semaunya memainkan harga padi petani,’’ujar Kabulog Riau, Syarif Abdullah. Bulog sebagai badan bertugas untuk menjaga dan stabilitas harga tidak mampu membeli semua hasil produksi petani.Sesuai dengan kebijakan pemerintah, bulog hanya membeli beras kualitas medium. Sementara beras kualitas medium tidak bisa bersaing di pasar. “Disini kelemahan bulog,” ujar Syarif.

Tidak ada komentar: