Jumat, 18 April 2008

kelangkaan minyak tanah,siapa yang salah???

Kelangkaan minyak tanah tidak hanya terjadi di berbagai wilayah yang menjadi tempat konversi energi dari minyak tanah ke elpiji. bahkan sekarang dampaknya sudah meluas ke berbagai wilayah di Indonesia yang tidak menjadi kawasan konversi.Antrian panjang pembelian menyak tanah akhir-akhir ini sering terjadi.tak dapat di pungkiri bahwa salah satu penyebab antrian tersebut adalah tidak maksimalnya pelaksanaan program konversi minyak tanah ke gas elpiji,berdasarkan siaran pers dari BHP di sebutkan bahwa pembagian tabung elpiji di Jakarta dan sekitarnya baru mencapai 40% dari target. Akan tetapi justru realisasi minyak tanah yang di tarik justru melebihi target. Berdasarkan informasi dari pertamina ,realisasi minyak tanah yang berhasil di tarik sebesar 163.162 kilo liter dari target 133.362 kilo liter. Dengan hal ini bisa kita pastikan bahwa sebenarnya memang pasokan minyak tanah kurang karena realisasi konversi lebih kecil dari jumlah minyak tanah yang di tarik.program konversi minyak tanah ke kompor gas menargetkan konversi 5,2 juta kilo liter minyak tanh ke 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010. tujuan tujuan utama program konversi adalah mengurangi beban subsidi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) terhadap bahan bakar minyak yang nilainya mencapai Rp 60 triliun. Jika implementasi program konversi tidak di perbaiki ,maka bisa di pastikan target penghematan tidak tercapai dan antrian panjang minyak akan terus terjadi.

Seharusnya Untuk program konversi harus di tentukan dulu siapa masyarakat penerima program agar parameternya lebih jelas, apakah masyarakat miskin atau menengah.perlu di buat analaisis untuk mengetahui karakternya ,tingkat daya beli hingga jenis pekerjaan.salah satu contoh hasilnya adalah di ketahuinya frekuensi pembelian minyak tanah dan jumlah setiap membeli.

Sepertinya pemerintah mulai mendapat hambatan,hal ini dapat terlihat dari berbagai masalah yang timbul di lapangan dan agaknya pemerintah masih belum terlalu siap untuk menghadapi hal semacam ini.karena sampai sekarang belum ada mekanisme yang jelas dalam mengatasi masalah yang terjadi.. masalah kelangkaan minyak tanah yang di sebabkan oleh kebijakan konversi ini seolah-olah bukan disebabkan oleh kelalaian negara melaksanakan kewajibannya, tetapi sebagai masalah rumah tangga belaka dan rendahnya perekonomian masyarakat.

Pemerintah dirasakan semakin kacau dalam mengelola perekonomian saat ini. Dan ini dibuktikan, langkah penghentian subsidi bahan bakar minyak merupakan salah satu petunjuk kalau pemerintah di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla (MJK) semakin kelabakan dalam mengelola keuangan negara. Dan akhirnya, subsidi BBM tidak lagi mampu dilakukan pemerintah, karena hal itu menjadi beban terkait defisit APBN yang semakin tinggi.

Dari data yang ada hingga saat ini Anggaran subsidi pada APBN 2008 juga mengalami pembengkaan jika dibandingkan dengan angka dalam RAPBN. Total anggaran subsidi pada RAPBN sebesar Rp 92,624 triliun, dengan rincian subsidi energi Rp 74,54 triliun dan subsidi nonenergi Rp 18,08 triliun. subsidi energi terdiri atas subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 45,8 triliun dan subsidi listrik Rp 29,78 triliun. Khusus untuk subsidi listrik, angkanya lebih tinggi Rp 1,9 triliun dari RAPBN 2008 sebesar Rp 27,8 triliun.Sedangkan, subsidi nonenergi Rp 22,28 triliun terdiri atas subsidi pangan Rp6,6 triliun, pupuk Rp 7,51 triliun, benih Rp 725 miliar, dan public service obligation (PSO/kewajiban layanan publik) Rp 1,68 triliun. Lalu kredit program Rp 2,148 triliun, subsidi minyak goreng Rp 600 miliar, dan subsidi pajak Rp 3 triliun

Adanya defisit APBN yang semakin signifikan mendorong pemerintah untuk semakin mempercepat pengimplementasian konversi minyak tanah ke gas elpiji di tingkat masyarakat dengan berbagai cara,diantaranya dengan mengurangi distribusi minyak tanah ke daerah-daerah dan dengan mencabut subsidi bahan bakar minyak terutama minyak tanah. Di wilayah konversi,seharusnya penarikan setiap liter minyak tanah digantikan dengan 0,56 kg elpiji.akan tetapi pada kenyataanya di lapangan tidak seperti itu. Infrastruktur elpiji belum siap,masyarakat miskin masih banyak yang belum mendapatkan tabung dan kompor akan tetapi tetapi minyak tanah sudah ditarik dari peredaran. Dalam implikasinya tindakan semacam ini malah banyak memunculkan permasalahan di lapangan.

Langkah menghentikan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah terang saja berdampak semakin memperburuk kondisi kehidupan masyarakat.ditambah dengan program peralihan minyak tanah (konversi minyak tanah) ke bahan bakar gas jelas bisa dikatakan belum berjalan seperti semestinya.

Perlu sekali adanya kesadaran pemerintah bahwa penggunaan gas di masyarakat itu bukanlah hanya sebuah kebutuhan bahan bakar untuk keperluan memasak.dapat kita ambil contoh lainya misalnya saja para nelayan yang ada di daerah pesisir pantai tentu akan terbebani dengan biaya melaut yang semakin besar.

Menurut cacatan Bappenas (2004), lebih dari 84 persen dana subsidi BBM yang selama ini diberikan pemerintah dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas. Sementara hanya sekitar 16 persen saja dari subsidi BBM tersebut, yang dapat dinimati oleh kelompok masyarakat miskin dan termiskin. Padahal selama ini pemerintah menerapkan kebijakan memberikan subsidi BBM tersebut dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Namun ternyata di lapangan, harapan pemerintah tersebut tidak dapat terwujudkan dengan baik., konsep tentang pembuatan kebijakan mengenai konversi patut di pertanyakan apakah ada jaminan bahwa dengan dicabutnya subsidi BBM akan dapat mensejahterakan masyarakat miskin.Yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat cukup kelabakan mengingat gas itu sendiri tidak dapat dipergunakan masyarakat sebagai pengganti bahan bakar penerangan seperti minyak tanah. tak mengherankan kalau kebijakan pemerintah menghentikan subsidi BBM dan menarik penggunaan minyak tanah diganti dengan bahan bakar gas itu dianggap sebagai kebijakan yang terlalu tergesa-gesa dan terlalu di paksakan. bisa di asumsikan bahwa langkah pemerintah itu hanya ingin mengurangi defisit APBN karena beban subsidi BBM sudah di anggap terlalu tinggi, tanpa dilakukan pengkajian yang matang kalau mayoritas masyarakat di Indonesia masih dominan mempergunakan bahan bahan bakar minyak seperti minyak tanah untuk bahan bakar penerangan atau untuk kegiatan perekonomian lain.

demokratisasi di era reformasi ini tidak menjadi jalan menuju kesejahteraan rakyat, tetapi sekadar pemenuhan minimal tuntutan-tuntutan minoritas yang kerap dianggap mengusik keberlakuan NKRI. Dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum tidak perlu menunggu pengaduan korban, tetapi dapat proaktif mencari tahu apa masalah yang terjadi sebenarnya di tingkatan masyarakat dan bukan hanya menganalisa suatu permasalahan lewat teory dan formulasi kebijakan yang telah di buat ataupun lewat laporan-laporan yang di suguhkan oleh pejabat terkait,sekaligus proaktif dalam setiap permasalahan social yang ada.

Tidak ada komentar: