Jumat, 18 April 2008

haruskah busung lapar terjadi??

Menyikapi kasus busung lapar yang terus terjadi, belum tampak adanya langkah-langkah berarti dari pemerintah, mencegah terulangnya busung lapar. Selama ini pemerintah masih reaktif, memberi bantuan pangan kepada mereka yang tertimpa kelaparan ketika jatuh korban dan menjadi perbincangan publik di media massa. Kasus busung lapar dan kekurangan gizi seolah-olah bukan disebabkan oleh kelalaian negara melaksanakan kewajibannya, tetapi sebagai masalah rumah tangga belaka.

Kelaparan yang berakhir dengan kematian adalah pelanggaran hukum positif. Kasus busung lapar yang berujung pada kematian cukup memenuhi unsur pidana. Desentralisasi di era reformasi ini tidak menjadi jalan menuju kesejahteraan rakyat, tetapi sekadar pemenuhan minimal tuntutan-tuntutan lokal yang kerap dianggap mengusik keberlakuan NKRI. Dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum tidak perlu menunggu pengaduan korban, tetapi dapat proaktif memeriksa para pejabat negara yang terkait.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, misalnya, kita masih menemukan sejumlah persoalan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tidak bisa diatasi secara efektif, semisal proses penyusunan RAPBD yang bermasalah, praktek korupsi yang berkelanjutan, konflik kelembagaan pemerintahan yang berkepanjangan, pelayanan publik yang kian memburuk, jumlah angka kemiskinan yang masih tinggi, masalah gizi buruk yang belum teratasi, dan sebagainya.

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2002 mengungkap kematian bayi di NTB 74/1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr. Magdalena, dari hasil pencatatan yang dilakukan petugas kesehatan tahun 2007 angka itu 1.336 dari 94.444 kelahiran hidup atau 14/1.000 kelahiran hidup.

Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002, kematian ibu saat melahirkan di NTB tercatat 115 orang. Angka itu meningkat menjadi 133, tahun 2003. Angka kematian ibu menurun tahun 2004 yakni 118 orang, dan terus menurun tahun 2005 (108), tahun 2006 (97), dan 2007 turun lagi menjadi 95 orang.

Ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa.

Terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban ketidakseimbangan antara pengeluaran dengan pendapatan pokok yang diterima hingga dapat menambah agenda kasus gizi buruk di Indonesia, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Tidak ada komentar: