Pendahuluan
Tulisan ini hendak mengangkat tentang rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat miskin dan problematikanya. Hal ini penting, mengingat selama ini tingkat partisipasi rakyat miskin terutama di Indonesia tergolong rendah, padahal jika dilihat dari jumlah, mereka tidak bisa dikatakan sedikit dan bagaimanapun juga mereka tetap mempunyai hak politik yang sama dengan golongan lainnya. Dan menurut saya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari budaya politik yang terlebih dahulu terbentuk dan juga peran dari sistem dan aktor pemegang kekuasaan. Partisipasi politik kaum miskin merupakan proses dimana anggota masyarakat miskin mampu membagi pandangan mereka dan menjadi bagian dari proses pembuatan keputusan dan berbagai aktivitas perencanaan; kegiatan yang dilakukan masyarakat miskin untuk dapat mempengaruhi keputusan pemerintah. Melalui proses ini kaum miskin berusaha mempengaruhi pemegang kekuasaan dalam merumuskan inisiatif-inisiatif pembangunan, ketika mengambil keputusan-keputusan dan menentukan sumber daya yang nantinya bisa mempengaruhi mereka nantinya.
Di dalam pendekatan pembangunan yang terbaru partisipasi rakyat telah menjadi sarana yang dianggap ampuh untuk menanggulangi persoalan-persoalan kemiskinan. Asumsi yang mendasari pendekatan baru ini adalah bahwa pembangunan (termasuk di dalamnya penanggulangan kemiskinan) akan berhasil bila masyarakat dilibatkan di dalam prosesnya. Untuk itu, berbagai upaya untuk membuka dan menciptakan ruang-ruang publik perlu didukung. Di dalam arena publik itu, warga masyarakat diharapkan dapat ikut menentukan keputusan-keputusan tentang cara mengendalikan dan mengakses sumber daya kolektif yang tadinya didominasi oleh negara. Apakah inisiatif-inisiatif pembukaan ruang bagi kaum miskin untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan (melalui inisiatif partisipatif) itu telah mencapai tujuannya dan faktor apa yang bekerja mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan dari tujuan tersebut?
Bentuk-bentuk Partisipasi Politik (Kaum Miskin)
Bentuk-bentuk partisipasi politik antara lain:
(1). Kegiatan pemilihan, mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dama suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Walaupun demikian pemilihan adalah salah satu bagian dari bentuk partisipasi, jadi tidak bisa dikatakan bahwa jika partisipasi masyarakat dalam pemilihan atau pemungutan suara meningkat berarti bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya juga meningkat demikian juga sebaliknya.
(2). Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan – keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Contoh-contoh yang jelas adalah kegiatan yang ditujukan untuk menimbulkan dukungan bagi atau oposisi terhadap, suatu usul legislative atau keputusan administrasif tertentu.
(3). Kegiatan organisasi, tujuan utama dan eksplisitnya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Organisasi ini dapat memusatkan usahanya kepada kepentingan-kepentingan yang sangat khusus atau pada masalah umum yang beraneka ragam. Menjadi anggota organisasi sudah merupakan bentuk partisipasi politik tak peduli apakah orang yang bersangkutan ikut atau tidak dalam upaya organisasi untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Keanggotan yang tidak aktif dapat dianggap sebagai partisipasi melalui orang lain.
(4). Mencari koneksi ( contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang.
(5). Tindak kekerasan (violence), upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.
Dari kelima bentuk-bentuk partisipasi politik diatas, ternyata tidak semua bisa dilakukan oleh kaum miskin. Hanya dua bentuk partisipasi politik yang “bisa” mereka lakukan, yaitu kegiatan pemilihan dan tindak kekerasan (violence).
Ruang Politik yang Membuka Partisipasi (Kaum Miskin)
Memang partisipasi politik bukanlah sesuatu yang ”given” melainkan sangat tergantung pada keberadaan ruang yang membuka atau membatasi partisipasi. Sejauh ini ada tiga ruang politik yang membuka partisipasi .
· Popular Space : partisipasi yang dilakukan secara aktif oleh warga masyarakat, atau sering disebut dengan “ruang rakyat” .
· Invited Space : partisipasi yang dibuka secara lebar oleh sistem politik (parlemen maupun pemerintah) dengan cara mengundang, membuka atau mendatangi warga. Secara konseptual ini disebut dengan ruang yang disediakan atau diundang.
· Deliberative Space : proses artikulasi yang dilakukan secara bersama dan aktif oleh sistem politik (pemerintah dan parlemen) bersama segmen-segmen warga masyarakat, atau disebut dengan “ruang musyawarah”. Deliberative space tentu juga berbasis pada kuatnya popular space dan invited space.
Dari ketiga ruang partisipasi yang ada -secara ekstrim- tidak ada ruang yang mampu ditembus oleh kaum miskin. Dalam Popular Space, kaum miskin relatif sulit untuk aktif berpartisipasi. Saya juga belum melihat Invited Space yang ada mampu ditembus oleh kaum miskin, entah itu karena kesalahan sistemnya atau implementasinya saja yang belum berhasil. Jika Popular Space dan Invited Space saja tidak dapat digunakan kaum miskin, apalagi Deliberative Space.
Partisipasi Otonom dan Partisipasi Mobilisasi (Kaum Miskin)
Partisipasi otonom adalah partisipasi yang dilakukan oleh seseorang atas dasar minat, keinginan, kesadaran pribadi serta memiliki tujuan tertentu untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Adanya sifat kesukarelaan dalam partisipasi ini tanpa adanya paksaan, ancaman, represif maupun intimidasi dari pihak lain.
Sedangkan partisipasi yang dimobilisasikan adalah adanya pelaku utama (aktor utama) dibalik partisipan yang sengaja menggerakkan mereka, kebanyakan dari para partisipan ini hanyalah mengikuti instruksi dari para aktor tersebut.
Jika melihat keadaan selama ini, saya rasa partisipasi politik kaum miskin di Indonesia termasuk dalam partisipasi yang dimobilisasikan. Jarang sekali yang termasuk dalam partisipasi otonom. Hal ini dapat kita lihat misalnya dari kegiatan pemilihan, seperti pemilu atau pilkada. Kaum miskin biasanya menjadi sasaran empuk bagi aktor politik yang berkepentingan untuk memenangkan pemilihan tersebut., biasanya dengan instruksi yang disertai dengan kekerasan, intimidasi, ancaman ataupun bayaran.
Apakah partisipasi yang dimobilisasikan yang dilakukan kaum miskin dianggap sebagai partisipasi politik? Banyak orang beranggapan bahwa partisipasi politik hanya bisa terjadi bila rakyat melakukannya secara sukarela atau otonom, tanpa paksaan dari pihak lain di luar dirinya. Dengan kalimat lain, partisipasi politik identik dengan sistem politik demokratis. Pandangan seperti itu melahirkan konsekuensi tidak diakuinya segala bentuk partisipasi politik dalam sistem politik yang tidak demokratis. Maka tidaklah mengherankan jika Huntington juga sampai pada konklusi bahwa bahkan dalam sistem demokrasi pun, partisipasi politik tetap saja tidak bisa sepenuhnya lepas dari unsur manipulasi dan tekanan.
Argumen Teoritis
Partispasi warga negara (private citizen) bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1977:3).
Namun dalam kenyataanya di lapangan partisipasi masyarakat yang diharapkan guna memberi masukan kepada pemerintah untuk merumuskan sebuah kebijakan justru sedikit sekali yang berasal dari kaum miskin padahal di dalam implementasinya masyarakat miskinlah yang paling besar menerima dampak dari sebuah kebijakan. Selama ini pemerintah terkesan sepihak dalam memformulasikan sebuah kebijakan publik padahal dalam hal ini masyarakatlah yang lebih tahu bagaimana keadaan mereka yang sesungguhnya. Tindakan semacam ini secara tidak langsung dapat memunculkan sikap apatis masyarakat terhadap pemerintah. Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena beberapa sebab:
1. adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik.
2. adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak berhasil.
3. mereka tinggal dalam lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu tindakan yang lebih bermaanfaat.
Dalam beberapa kasus, tindakan apatis bukanlah masalah yang harus selalu di permasalahkan karena tindakan acuh tak acuh dapat menjadi positif apabila memberikan fleksibilitas pada sistem politik dibandingkan dengan masyarakat yang terlalu aktif sehingga menjurus pada pertikaian yang berlebihan. Beberapa hal di atas adalah faktor-faktor internal yang ada di lingkup masyarakat sendiri dan yang terjadi di indonesia sekarang adalah sebaliknya, kurangnya partisipasi masyarakat miskin cendrung berasal dari faktor external yaitu kurangnya adanya ruang yang di berikan dari pihak pemerintahan sebagai perumus sebuah kebijakan.
Dengan keadaan ekonomi yang begitu susah, didukung lagi dengan keadaan politik dan pemerintahan kita yang semakin kacau dan semakin kapitalis ini, apakah mereka masih punya harapan untuk meminta perlindungan dan penghidupan yang lebih layak kepada pemerintah dengan ikut aktif berpartisipasi untuk mengisi ruang publik yang terbuka lebar saat ini? Menurut penelitian Samuel Huntington dan Joan Nelson yang dilakukan di negara-negara berkembang menyimpulkan bahwa orang-orang miskin biasanya tidak begitu antusias dalam berpartisipasi politik. Hal ini disebabkan karena :
1. pada umumnya, lingkup kegiatan pemerintah yang mempunyai relevansi langsung dengan kebutuhan ataupun kepentingan rakyat miskin sangat terbatas. Contohnya dalam pelayanan kesehatan ataupun program-program pekerjaan umum untuk mengurangi penggangguran. Jikalau negara menyediakan pelayanan kesehatan, mereka akan memberikan pelayanan dengan kualitas dan fasilitas yang sangat minim dan tidak berkualitas.Dengan adanya keterbatasan lingkup ini maka usaha-usaha masyarakat untuk mengadakan kontak baik secara perorangan maupun kelompok dengan badan-badan pemerintahan untuk membantu mengatasi atau memenuhi kebutuhan mereka yang mendesak dianggap tidak relevan lagi atau sangat tidak mungkin untuk dilakukan. Dan menurut mereka (rakyat miskin) lebih tidak masuk akal lagi untuk melakukan tindakan kolektif bersama dengan kaum miskin lainnya dalam upaya untuk mempengaruhi pemerintah.
2. dengan adanya space yang sangat tidak mungkin untuk mereka akses agar dapat benar-benar bisa mengartikualsikan kepentingannya kepada pemerintah dan pemerintah benar-benar dapat mengapresiasi dan merealisasi keinginan mereka, maka mereka malah lebih mengandalkan orang lain. Mereka lebih berpaling kepada anggota-anggota keluarga atau tetangga mereka yang bisa membantu, pendeta atau pemuka-pemuka agama lainnya, pemilik warung, tuan tanah, guru atau mungkin bisa siapa saja yang lebih baik nasibnya dan mampu membantu mereka.
3. karena ketidaktahuan mereka, terutama rakyat miskin yang berada di daerah pedesaan. Mereka mungkin tidak tahu bahwa ada kebijaksanaan dan program-program pemerintah yang berhubungan langsung dengan kepentingan mereka, hal ini dikarenakan karena adanya keterbatasan teknologi informatika untuk mengakses informasi disana dan adanya keterbatasan pendidikan dan pengetahuan rakyat di daerah pedesaan. Kita ketahui bahwa di kebanyakan daerah pedesaan pendidikan dan perkembangan informasi berjalan sangat lamban dan apabila mereka mendapatkan informasi, mereka mungkin juga tidak menyadari bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kepentingan-kepentingan mereka dengan kebijakan-kebijakan tertentu yang dijalankan oleh pemerintah, seperti kurs mata uang asing, insentif perpajakan yang mendorong inflasi yang semuanya itu memiliki dampak langsung atas kepentingan mereka (rakyat miskin).
4. rakyat miskin tidak memiliki sumber-sumber daya untuk berpartisipasi secara aktif dan efektif, informasi yang kurang memadai, tidak memiliki kontak-kontak yang tepat dan seringkali juga waktu.
5. orang miskin cenderung untuk beranggapan bahwa permohonan-permohonan ataupun tekanan-tekanan dari pihak mereka apakah yang dilakukan secara perorangan ataupun kolektif, akan dianggap sepi atau ditolak oleh pemerintah dan anggapan itu sering kali benar
Philipus M. Hadjon ( 1997: 4-5 ) mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan
Diskusi Kasus
Partisipasi Politik Kaum Miskin Sebelum dan Sesudah Reformasi
Kita ketahui bahwa sebelum reformasi, sistem politik yang berlangsung di Indonesia adalah sistem politik yang tertutup, partisipasi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang remeh dan tidak terlalu penting bagi pemerintah. Pemerintah selalu yakin bahwa dialah satu-satunya aktor yang benar-benar tahu akan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Atas nama pembangunan dan kesejahteraan yang ditafsirkan sepihak oleh pemerintah, kebijakan publik acapkali membawa malapetaka bagi masyarakat karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Tidak adanya ruang yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik mengakibatkan kebijakan publik yang dibuat seringkali tidak sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat.
Di masa lalu (Orde Baru), aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik sangat terbatas dan hanya berkisar di lingkaran kecil elite birokrasi dan militer. Sehingga beragam artikulasi kepentingan di luar birokrasi lebih banyak ditanggapi melalui proses klientelisme atau penyerapan (absorsi) tanpa proses pelibatan aktor extra state. Dalam posisi seperti itu, masyarakat hanya dibutuhkan apabila diundang (invited space) oleh birokrasi negara. Atau bahkan, lebih banyak dilibatkan dalam kerangka mobilisasi dibandingkan partisipasi. Setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998, aktor-aktor yang terlibat dalam proses politik semakin plural dan semarak. Kalau di masa lalu, aktor politik yang dominan hanyalah birokrasi dan militer, maka saat ini aktor yang terlibat sangat beragam dan tersegmentasi menurut garis profesi, kelas, kelompok, kepentingan dan lain-lain.
Dengan lahirnya reformasi, ada dua perubahan besar yang terjadi di Indonesia yaitu demokratisasi dan desentralisasi. Dengan adanya demokrasi, tuntutan membuka ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi. Dalam sistem politik demokratis, perumusan kebijakan publik mensyaratkan hal-hal mendasar yang sebelumnya terabaikan, yaitu melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembuatan kebijakan. Jika dalam sistem politik tertutup dan otoriter (rejim orde baru) proses pembuatan kebijakan publik lebih beorientasi kepada kepentingan negara (state oriented), maka dalam sistem politik terbuka dan demokratis ini proses kebijakannya lebih diorientasikan untuk kepentingan masyarakat (society oriented). Kalau kita ingin menjadikan demokrasi sebagai ruh perubahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara maka keterlibatan dan keterwakilan publik dalam proses-proses kebijakan harus diperkuat karena demokrasi dan good governance pada dasarnya berkaitan dengan bagaimana mengejawantahkan kehendak dan kebutuhan publik ke dalam kebijakan .
Apakah konsep demokrasi secara otomatis membawa perbaikan nasib rakyat miskin dan partisipasi politik masyarakat miskin sudah tersalurkan??
saya rasa hal ini belum memberikan perubahan yang cukup signifikan. Buktinya, nyaris sepuluh tahun kita menjalani era demokrasi, tapi faktanya nasib kaum miskin tetap saja merana. Petani, buruh, buruh tani, pedagang kaki
Janji-janji parpol atau politisi yang pada dasarnya adalah ruang utama masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam menyalurkan suara justru begitu meninabobokan kaum miskin selama kampanye, seolah sah-sah saja jika tidak direalisasikan seusai pemilu. Elite politik lalu sibuk sendiri dengan agenda pembagian jatah kursi, pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, ataupun program-program elitis lainnya. Sedangkan kaum miskin dilupakan begitu saja, kecuali dengan sejumlah kecil program karikatif seperti bantuan langsung tunai atau beras keluarga miskin (raskin) yang lebih terkait politik pencitraan pemerintah belaka dan hampir tak berdampak pemberdayaan ekonomi rakyat miskin.
Melalui demokrasi, rakyat miskin secara politik memang berdaulat. Tapi tidak demikian dalam lapangan ekonomi. Kaum penguasa memang leluasa memilih parpol atau wakilnya selama pemilu. Namun begitu pemilu rampung, rakyat kecil harus menghadapi lagi kenyataan: nasib mereka tak juga lebih baik.
Bahkan, tak sedikit kaum miskin yang justru merasakan, sesudah era demokrasi, nasibnya malah lebih buruk: jadi korban PHK, diubah statusnya dari karyawan tetap menjadi buruh kontrak, menjadi petani padi yang terus merugi, bangkrut karena kalah bersaing dengan usaha raksasa transnasional, atau digusur lokasi usahanya demi ketertiban
Di sini mestinya dipahami bahwa hidup sejahtera ialah salah satu hak asasi rakyat. Dengan demikian, demokrasi ekonomi dengan sendirinya meniscayakan hak setiap rakyat untuk disejahterakan kehidupannya oleh penyelenggara negara.
Proyeksi kedepan
Menurut Myron Wiener, ada dua faktor pendorong bagi menguatnya partisipasi politik. Pertama, tumbuhnya angkatan kerja perkotaan yang bekerja di sektor industri yang mendorong timbulnya organisasi buruh. Kedua, pertumbuhan komunikasi massa yaitu karena perkembangan penduduk, transportasi, komunikasi antara pusat-pusat kota dan daerah terbelakang, penyebaran surat kabar, penggunaan radio, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kesadaran anggota masyarakat akan pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap tiap-tiap warga negara. Ada dua indikator dalam menjelaskan pola partisipasi politik. Pertama, kesadaran politik yakni kesadaran seseorang akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang menyangkut pengetahuannya mengenai lingkungan masyarakat dan politik serta menyangkut minat dan perhatiannya terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Kedua, kepercayaan politik yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah dan sistem politik yang ada, apakah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Dengan mengkorelasikan kesadaran politik dan kepercayaan politik itu, Paige kemudian membagi pola partisipasi politik menjadi empat tipe:
1. Partisipasi politik dikatakan aktif apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan politiknya tinggi.
2. Partisipasi politik terlihat apatis jika tingkat kesadaran dan kepercayaan politik rendah.
3. Partisipasi politik cenderung militan-radikal apabila kesadaran politik tinggi, tetapi kepercayaan politik rendah.
4. Partisipasi politik cenderung pasif jika kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan politik tinggi.
Pola partisipasi politik yang ditunjukkan melalui kadar tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan politik seperti dikemukakan di atas, pada dasarnya ditentukan oleh setidak-tidaknya tiga faktor utama, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan sistem. Dalam sistem negara demokratis, partisipasi politik merupakan elemen yang penting. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan kolektif. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurangnya diperhatikan dan sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan yang berwenang yang diwujudkan dalan sebuah keputusan. Masyarakat percaya bahwa kegiatan yang mereka lakukan mempunyai efek (political efficacy).
Kesimpulan
bagi kebanyakan kaum miskin dalam kondisi-kondisi yang paling lazim, partisipasi politik, baik dulu maupun sekarang secara objektif merupakan suatu cara yang sulit dan mungkin tidak efektif untuk menanggulangi masalah-masalah mereka. Hasil survei yang dilakukan Huntington di beberapa negara berkemabang mencerminkan hal itu, hanya sebagian kecil saja dari orang-orang yang berpenghasilan dan berpendidikan rendah yang mempunyai minat dalam politik dan menganggap politik relevan dengan urusan mereka dan mereka juga merasa bisa ikut mempengaruhi pemerintah dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.
Agar kaum miskin bisa berpartisipasi sesuai dengan semestinya, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain:
1) Ruang politik. Pemerintah harus mengembangkan struktur kesempatan politik yang mampu memfasilitasi proses partisipasi agar bisa berjalan dan berkembang dengan optimal. Sistem politik dan institusi publik yang ada harus memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya partisipasi
2) Ruang sosial. Partisipasi hanya bisa berjalan dengan baik apabila struktur sosial yang ada di dalam masyarakat bersifat egaliter. Apabila masih kental nuansa patron-clientnya dan sangat elitis maka dalam setiap pembuatan keputusan hanya melibatkan segelintir elite yang mereka hormati dan tidak akan bersifat partisipatif (masyarakat dapat terlibat aktif). Para elite ini sangat berpotensi dalam memobilisasikan massa atau mengatasnamakan rakyat untuk menggolkan keinginan mereka.
3) Kesediaan dan kepercayaan. Disini dituntut adanya kesediaan dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus bersedia dalam memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk terlibat dna mempengaruhi keputusan-keputusan yang ada dalam proses kebijakan. Jikalau belum ada kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi maka seyogyanya pemerintah bersedia membuka ruang dan mekanisme yang memungkinkan partisipasi tersebut bisa tumbuh dan berkembang. Selain itu juga adanya keharusan dari kesediaan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang ada. Kesediaan ini akan muncul jika kesadaran citizenship (kesadaran nasional) akan pentingnya hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara sudah mengakar dalam benak masyarakat. Tanpa adanya kesediaan masyarakat maka mustahil untuk terjadi proses partisipasi karena hasrat publik merupakan input utama yang akan dikonversikan menjadi kebijakan yang lebih responsif dan accountable.
4) Kemampuan, keleluasaan dan kesediaan yang ada harus didukung oleh kemampuan pemerintah dan masyarakat (miskin) untuk mewujudkan nilai, prinsip dan mekanisme partisipasi.
Daftar Pustaka
1. Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Parpol – Sebuah Bunga Rampai.Jakarta.
2. Gaffar, Afan. Partisipasi Politik ( Saduran dari “ No Easy Choice” Political Participation in Developing Countries).1980.
3. Gaffar, Afan. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Countries
4. Haryanto. Sistem Politik : Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Liberty
5. Huntington, Samuel, Joan Nelson. Partisipasi Politik di Negara berkembang. 1994. Jakarta : PT Rineka Cipta
6.http://akatiga.org/programpenelitian/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar