Latar Belakang Masalah
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah , Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan di sempurnakan dengan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan pelaksanaan dari salah satu tuntutan reformasi pada tahun 1998 Kebijakan ini merubah penyelenggaraan pemerintahan dari yang sebelumnya bersifat terpusat menjadi terdesentralisasi meliputi antara lain penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah (kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, agama, fiskal moneter, dan kewenangan bidang lain) dan perubahan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik diharapkan akan menjadi lebih sederhana dan cepat karena dapat dilakukan oleh pemerintah daerah terdekat sesuai kewenangan yang ada. Kebijakan ini dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam perkembanganya, di indonesia paradigma tentang konsep desentralisasi sangat di agungkan hal ini terjadi sebagai upaya untuk mereformasi dan memodernisasi tata pemerintahan yang ada agar suatu negara dapat lebih dekat dengan masyarakat lokal. Anggapan muncul bahwa desentralisasi adalah salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan pembangunan seperti kesenjangan antara pemerintahan pusat ataupun masalah kemiskinan semakin meningkatkan euphoria masyarakat tentang desentralisasi. Secara teori mungkin paradigma tentang desentralisasi bisa di katakan baik, namun ide pokok dari konsep desentralisasi belum sepenuhnya terimplementasikan secara optimal dan masih cendrung memunculkan permasalahan-permasalahan yang tidak di inginkan.
Ide dasar mengenai Desentralisasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipologi, yaitu :
1. desentralisasi politik, bertujuan untuk memberikan kepada rakyat akses terhadap pengambilan keputusan publik
2. desentralisasi administratif, berfokus pada redistribusi kewenangan dan tanggung jawab dalam penyediaan jasa layanan umum antara jenjang pemerintahan yang berbeda. Dalam hal ini, desentralisasi administratif memiliki 3 (tiga) bentuk utama, yakni dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi
3. desentralisasi fiskal, desentralisasi fiskal bertujuan untuk memberi kewenangan kepada lembaga-lembaga lokal untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diserahkan /dilimpahkan, sekaligus merumuskan keputusan tentang pengeluaran anggaran, serta kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri
4. desentralisasi pasar atau desentralisasi ekonomi, desentralisasi ekonomi atau pasar diarahkan pada terjadinya alih tanggungjawab dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah dari sektor publik kepada sektor privat. Desentralisasi pasar ini merupakan bentuk sempurna dari desentralisasi, yang secarakonkrit dapat berupa kebijakan privatisasi attau deregulasi (Rondinelli, 1999: 2-4).
Desentralisasi boleh jadi merupakan terobosan kebijakan yang efektif. Namun, banyak kasus menunjukkan pula bahwa kebijakan ini melahirkan masalah-masalah baru. Dalam konteks Indonesia, format desentralisasi yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan otonomi luas kepada Kabupaten/Kota dan otonomi yang terbatas kepada Propinsi. Disatu sisi, kebijakan desentralisasi ini telah membawa banyak kemajuan yang berarti, baik secara politis maupun sosio-ekonomis. Namun disisi lain, harus diakui bahwa masih banyak agenda yang belum terlaksana, yang mengindikasikan kemungkinan gagalnya otonomi daerah.
Identifikasi masalah
Secara umum dalam pengimplementasianya konsep desentralisasi masih memiliki banyak sekali permasalahan yang sangat krusial dan mendasar,di antaranya :
1. belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, Kewenangan daerah masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum disesuaikan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengakibatkan berbagai permasalahan, yaitu antara lain dalam hal kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu kawasan atau pelayanan tertentu, pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan pajak, dan lainnya. Selain itu juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar pusat, provinsi dan kabupaten/kota daerah yang mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak dalam pelaksanaan suatu aturan, misalnya tentang pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan.
2. masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, Kerjasama antar pemerintah daerah masih rendah terutama dalam penyediaan pelayananan masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah, dan wilayah dengan tingkat urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pada pengelolaan dan pemanfaatan bersama sungai, sumberdaya air, hutan, tambang dan mineral, serta sumber daya laut yang melintas di beberapa daerah yang berdekatan, dan dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk pengolahan pasca panen dan distribusi, dan lain-lain.
3. belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, Struktur organisasi pemerintah daerah umumnya masih besar dan saling tumpang tindih. Selain itu prasarana dan sarana pemerintahan masih minim dan pelaksanaan standar pelayanan minimum belum mantap. Juga dalam hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah belum optimal.
4. masih terbatasnya dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, Hal ini ditunjukkan masih terbatasnya ketersediaan aparatur pemerintah daerah, baik dari segi jumlah, maupun segi profesionalisme, dan terbatasnya kesejahteraan aparat pemerintah daerah, serta tidak proporsionalnya distribusi, menyebabkan tingkat pelayanan publik tidak optimal yang ditandai dengan lambatnya kinerja pelayanan, tidak adanya kepastian waktu, tidak transparan, dan kurang responsif terhadap permasalahan yang berkembang di daerahnya. Selain itu belum terbangunnya sistem dan regulasi yang memadai di dalam perekrutan dan pola karir aparatur pemerintah daerah menyebabkan rendahnya sumberdaya manusia berkualitas menjadi aparatur pemerintah daerah. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah masih kurangnya etika kepemimpinan di beberapa daerah.
5. masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, Hal ini ditandai dengan terbatasnya efektivitas, efisiensi, dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber penerimaan daerah, belum efisiennya prioritas alokasi belanja daerah secara proporsional, serta terbatasnya kemampuan pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme.
Analisis Penyebab Utama
Dalam mengidentifikasi permasalahan yang muncul akibat desentralisasi saya akan mengambil dari sudut pandang model desentralisasi fiskal dan model desentralisasi administratif, karena menurut saya sudut pandang model desentralisasi fiskal dan model desentralisasi administratif paling banyak memunculkan permasalahan mulai dari awal pengimplementasian konsep desentralisasi hingga saat ini. Dalam hal ini saya akan menganalisis permasalahan yang timbul akibat paradigma desentralisasi dengan menggunakan teory modernisasi, karena Teori moderinisasi pada dasarnya menyatakan bahwa untuk memajukan pembangunan di sebuah negara faktor utama yang paling berperan adalah faktor internal negara itu sendiri (internal), dan saya beranggapan bahwa proses desentralisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan proses pembangunan secara internal. Teory modernisasi ini di dukung dengan teory Teori Harrot & Domar mengenai tabungan dan investasi yang secara teoritis sangat relevan sekali dengan kondisi di indonesia.
Teori tabungan dan investasi mengatakan bahwa masalah utama pembangunan adalah investasi. Pendapat ini di dasarkan pada asumsi masalah utama pembangunan utamanya adalah modal, masalah keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Jika ada modal dan modal itu di investasikan maka hasilnya adalah pembangunan ekonomi.
penekankan bahwa pembangunan masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi Pembangunan tidak lain adalah investasi/penanaman modal. Dengan adanya investasi yang baik maka di harapkan akan terciptanya pelayanan publik yang jauh lebih maksimal. Turner dan Hulme (1997: 152) berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani.
Desentralisasi fiskal bisa dipahami sebagai sebuah kebijakan untuk menciptakan perimbangan keuangan Pusat-Daerah. Desentralisasi Fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya terpusat di tangan pemerintah Pusat. Pelimpahan kewenangan ini bukan sekedar memberikan ruang bagi Daerah untuk mengelola keuangan sendiri, melainkan juga menciptakan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, serta untuk mendorong kemandirian Daerah di hadapan pemerintah Pusat. Perwujudan desentralisasi fiskal dilakukan melalui pembesaran alokasi subsisdi dari pemerintah Pusat, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan Daerah, pemberian keleluasaan kepada Daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
Selain pembagian wewenang (expenditure assignment), pembagian sumber pendapatan (revenue assignment) dan pinjaman daerah, pilar utama desentralisasi fiskal adalah transfer dana dari pusat ke daerah
Disini persoalan muncul menyangkut soal DAU, polemik DAU terletak pada perbedaan cara pandang antara pusat dan daerah tentang DAU. Bagi pusat, DAU dijadikan instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan atau mengisi fiscal gap. Bagi daerah, itu dimaksudkan untuk mendukung kecukupan. Persoalan timbul ketika daerah meminta DAU sesuai kebutuhannya. Di sisi lain, alokasi DAU berdasar kebutuhan daerah belum bisa dilakukan karena dasar perhitungan fiscal needs tidak memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasar standar analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran ( khususnya APBD) belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien.
Demikian pula dengan bagi hasil dari sektor pajak. Daerah sering dipersalahkan karena memunculkan pajak dan retribusi daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Bagi daerah, ini semacam mengais remah-remah PAD karena sumber pajak yang gemuk sudah diserobot pusat. Dalam hal ini, daerah menuntut keadilan dengan sistem bagi hasil yang lebih besar, kalau tidak sumber pajak-pajak gemuk diserahkan ke daerah. oleh karena itu, mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah dalam penentuan DAU. Kebutuhan daerah sedikitnya menyangkut jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis, tingkat pendapatan masyarakat, dan masyarakat miskin.
UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah diterapkan, masih muncul berbagai permasalahan, terutama soal desentralisasi kewenangan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dalam hal desentralisasi fiskal maupun kewenangan pengelolaan SDA, eksploitasi pusat atas daerah menjadi wacana yang tampak pada implementasi otonomi daerah (otda) selama ini. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) dalam desentralisasi fiskal menimbulkan banyak masalah. Hal itu ditandai turunnya investasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi di daerah kaya SDA. Pemerintah pusat dianggap menjadi predatory state yang mengeksploitasi daerah secara besar-besaran, terutama daerah kaya migas seperti (NAD, Papua, Riau, dan Kaltim). Sebagai bukti, meski dikatakan sebagai daerah kaya, pembangunan prasarana ekonomi di daerah itu tertinggal dibanding daerah lain. Ekspresi ketidakpuasan daerah selama ini menjadi fenomena wajar. Misalnya, tentang bagi hasil migas. Kasus 48 daerah penghasil migas yang mengancam memblokade produksi migas di daerahnya pada pertengahan 2002. Saat itu, penetapan SK Menkeu No 24/KM.66/2002 tentang bagi hasil migas dianggap tidak transparan. Sebab, hanya memberikan 1-2 persen dari angka sesungguhnya pengambilan migas di masing-masing daerah.
Problematika pengelolaan SDA dapat dikaitkan dengan kewenangan investasi. Bermula dari terbitnya Keppres No 28 dan 29 Tahun 2004 yang menarik kembali kewenangan investasi ke pemerintah pusat. Meski UU 32/2004 menyatakan pelayanan administrasi penanaman modal menjadi urusan wajib pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Tetapi, RPP sebagai peraturan pelaksana UU 32/2004 dan RUU penanaman modal belum tentu selaras dengan UU 32/2004. Itulah yang dipandang sebagai penyebab menurunnya investasi di daerah. Dalam hal ini memang harus ada transparansi dan bagi hasil yang adil. Bila perlu, daerah boleh menggunakan auditor eksternal untuk menghitung hak sesungguhnya. Skema bagi hasil minyak antara pemerintah pusat dan daerah hanya semu karena bukan bagi hasil yang riil. Profit split 85%-15% antara pusat-daerah dilakukan setelah beberapa kali mengalami potongan pajak dan retensi. Contohnya, Riau. Dengan perhitungan yang ada, dari hasil kotor Rp 50,79 triliun 2000, Riau hanya mendapatkan Rp 3,39 triliun yang berarti hanya 6,67 persen. Hal ini membuktikan bahwa peranan pemerintahan pusat masih terlalu dominan dalam pengexploitasian sumber daya alam dan belum adanya investasi yang maksimal dari pemerintah pusat yang cenderung menghambat jalanya pembangunan di tingkat daerah-daerah.
Rekomendasi Kebijakan
Sejak dilaksanakannya kedua undang-undang tersebut, yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2001, masih ditemukan berbagai permasalahan. Bahkan ide dasar dari desentralisasi itu sendiri masih belum terimplementasikan dengan optimal di Indonesia khususnya yang diindikasikan oleh masih banyaknya ketentuan pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang belum diatur lebih lanjut, adanya tarik ulur kepentingan dalam upaya revisi, adanya perbedaan penafsiran yang melahirkan konflik antar unit pemerintahan (baik Pusat maupun Daerah) dan sebagainya. Secara konseptual, paradigma yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi memang sangat baik. Namun, pengimplementasi desentralisasi masih membutuhkan prakondisi untuk dapat berhasil dengan baik, diantaranya harus didukung oleh perencanaan yang matang agar pembangunan lebih efektif dan efisien dan ditopang oleh dengan ketidak mampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya program desentralisasi untuk dapat mengoptimalkan segara potensi daerah untuk memajukan daerah. Beberapa hal ini lah yang menyebabkan kegagalan disentalisasi di indonesia. Sehingga menyebabkan kurang optimalnya pelaksaan disentralisasi di Indonesia.
Melalui pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu pemerintah daerah harus lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Di Indonesia, tingkat kemiskinannya masih relatif tinggi dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakan-kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin guna mensukseskan program pembangunan. . . . . . . . . . . .. . .
Desentralisasi fiskal di Indonesia yang sudah dimulai sejak tahun 2001. Meskipun masih berumur muda dan secara pelaksanaannya desentralisasi fiskal ini masih mengalami berbagai kendala di lapangan, namun sudah memungkinkan bagi kita untuk melakukan evaluasi jangka pendek.
Dalam hal ini alokasi DAU berdasar kebutuhan daerah belum bisa di tutupi dengan baik karena secara sistematik belum memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasar standar (analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran (khususnya APBD) belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien.
Penutup
Implementasi desentralisasi akan melahirkan tata pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Dengan desentralisasi dan otonomi, pemerintah daerah akan lebih jelas mengetahui kebutuhan masyarakat lokal. Pemerintah daerah merupakan pihak yang paling dekat dengan rakyat. Secara tidak langsung, pemerintah daerah berwibawa untuk bertindak sebagai penghubung antara pemerintah pusat dengan rakyat dengan implementasi desentralisasi, tata pemerintahan yang efektif akan tercapai sehingga tindakan untuk memperbaiki dengan segera dapat di ambil sekiranya terjadi masalah dalam pelaksanaan proses pemerintahan atau pembangunan.
Selain itu , implementasi kebijakan desentralisasi juga dapat memperbaiki ketajaman perencanaan dan pengurusan di dalam birokrasi pusat dalam rangka menyelesaikan mesalah ekonomi, sosial dan politik negara. Implementasi desentralisasi dapat mengurangi beban tugas yang terpaksa di tanggung oleh pemerintah pusat melalui penyerahan kekuasaan dan tanggung jawaab kepada unit-unit pengelola pemerintah daerah.