Sabtu, 23 Agustus 2008

Desentralisasi

Latar Belakang Masalah

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah , Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan di sempurnakan dengan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan pelaksanaan dari salah satu tuntutan reformasi pada tahun 1998 Kebijakan ini merubah penyelenggaraan pemerintahan dari yang sebelumnya bersifat terpusat menjadi terdesentralisasi meliputi antara lain penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah (kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, agama, fiskal moneter, dan kewenangan bidang lain) dan perubahan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik diharapkan akan menjadi lebih sederhana dan cepat karena dapat dilakukan oleh pemerintah daerah terdekat sesuai kewenangan yang ada. Kebijakan ini dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam perkembanganya, di indonesia paradigma tentang konsep desentralisasi sangat di agungkan hal ini terjadi sebagai upaya untuk mereformasi dan memodernisasi tata pemerintahan yang ada agar suatu negara dapat lebih dekat dengan masyarakat lokal. Anggapan muncul bahwa desentralisasi adalah salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan pembangunan seperti kesenjangan antara pemerintahan pusat ataupun masalah kemiskinan semakin meningkatkan euphoria masyarakat tentang desentralisasi. Secara teori mungkin paradigma tentang desentralisasi bisa di katakan baik, namun ide pokok dari konsep desentralisasi belum sepenuhnya terimplementasikan secara optimal dan masih cendrung memunculkan permasalahan-permasalahan yang tidak di inginkan.

Ide dasar mengenai Desentralisasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipologi, yaitu :

1. desentralisasi politik, bertujuan untuk memberikan kepada rakyat akses terhadap pengambilan keputusan publik

2. desentralisasi administratif, berfokus pada redistribusi kewenangan dan tanggung jawab dalam penyediaan jasa layanan umum antara jenjang pemerintahan yang berbeda. Dalam hal ini, desentralisasi administratif memiliki 3 (tiga) bentuk utama, yakni dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi

3. desentralisasi fiskal, desentralisasi fiskal bertujuan untuk memberi kewenangan kepada lembaga-lembaga lokal untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diserahkan /dilimpahkan, sekaligus merumuskan keputusan tentang pengeluaran anggaran, serta kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri

4. desentralisasi pasar atau desentralisasi ekonomi, desentralisasi ekonomi atau pasar diarahkan pada terjadinya alih tanggungjawab dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah dari sektor publik kepada sektor privat. Desentralisasi pasar ini merupakan bentuk sempurna dari desentralisasi, yang secarakonkrit dapat berupa kebijakan privatisasi attau deregulasi (Rondinelli, 1999: 2-4).

Desentralisasi boleh jadi merupakan terobosan kebijakan yang efektif. Namun, banyak kasus menunjukkan pula bahwa kebijakan ini melahirkan masalah-masalah baru. Dalam konteks Indonesia, format desentralisasi yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan otonomi luas kepada Kabupaten/Kota dan otonomi yang terbatas kepada Propinsi. Disatu sisi, kebijakan desentralisasi ini telah membawa banyak kemajuan yang berarti, baik secara politis maupun sosio-ekonomis. Namun disisi lain, harus diakui bahwa masih banyak agenda yang belum terlaksana, yang mengindikasikan kemungkinan gagalnya otonomi daerah.

Identifikasi masalah

Secara umum dalam pengimplementasianya konsep desentralisasi masih memiliki banyak sekali permasalahan yang sangat krusial dan mendasar,di antaranya :

1. belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, Kewenangan daerah masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum disesuaikan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengakibatkan berbagai permasalahan, yaitu antara lain dalam hal kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu kawasan atau pelayanan tertentu, pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan pajak, dan lainnya. Selain itu juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar pusat, provinsi dan kabupaten/kota daerah yang mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak dalam pelaksanaan suatu aturan, misalnya tentang pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan.

2. masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, Kerjasama antar pemerintah daerah masih rendah terutama dalam penyediaan pelayananan masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah, dan wilayah dengan tingkat urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pada pengelolaan dan pemanfaatan bersama sungai, sumberdaya air, hutan, tambang dan mineral, serta sumber daya laut yang melintas di beberapa daerah yang berdekatan, dan dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk pengolahan pasca panen dan distribusi, dan lain-lain.

3. belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, Struktur organisasi pemerintah daerah umumnya masih besar dan saling tumpang tindih. Selain itu prasarana dan sarana pemerintahan masih minim dan pelaksanaan standar pelayanan minimum belum mantap. Juga dalam hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah belum optimal.

4. masih terbatasnya dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, Hal ini ditunjukkan masih terbatasnya ketersediaan aparatur pemerintah daerah, baik dari segi jumlah, maupun segi profesionalisme, dan terbatasnya kesejahteraan aparat pemerintah daerah, serta tidak proporsionalnya distribusi, menyebabkan tingkat pelayanan publik tidak optimal yang ditandai dengan lambatnya kinerja pelayanan, tidak adanya kepastian waktu, tidak transparan, dan kurang responsif terhadap permasalahan yang berkembang di daerahnya. Selain itu belum terbangunnya sistem dan regulasi yang memadai di dalam perekrutan dan pola karir aparatur pemerintah daerah menyebabkan rendahnya sumberdaya manusia berkualitas menjadi aparatur pemerintah daerah. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah masih kurangnya etika kepemimpinan di beberapa daerah.

5. masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, Hal ini ditandai dengan terbatasnya efektivitas, efisiensi, dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber penerimaan daerah, belum efisiennya prioritas alokasi belanja daerah secara proporsional, serta terbatasnya kemampuan pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme.

Analisis Penyebab Utama

Dalam mengidentifikasi permasalahan yang muncul akibat desentralisasi saya akan mengambil dari sudut pandang model desentralisasi fiskal dan model desentralisasi administratif, karena menurut saya sudut pandang model desentralisasi fiskal dan model desentralisasi administratif paling banyak memunculkan permasalahan mulai dari awal pengimplementasian konsep desentralisasi hingga saat ini. Dalam hal ini saya akan menganalisis permasalahan yang timbul akibat paradigma desentralisasi dengan menggunakan teory modernisasi, karena Teori moderinisasi pada dasarnya menyatakan bahwa untuk memajukan pembangunan di sebuah negara faktor utama yang paling berperan adalah faktor internal negara itu sendiri (internal), dan saya beranggapan bahwa proses desentralisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan proses pembangunan secara internal. Teory modernisasi ini di dukung dengan teory Teori Harrot & Domar mengenai tabungan dan investasi yang secara teoritis sangat relevan sekali dengan kondisi di indonesia.

Teori tabungan dan investasi mengatakan bahwa masalah utama pembangunan adalah investasi. Pendapat ini di dasarkan pada asumsi masalah utama pembangunan utamanya adalah modal, masalah keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Jika ada modal dan modal itu di investasikan maka hasilnya adalah pembangunan ekonomi.

penekankan bahwa pembangunan masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi Pembangunan tidak lain adalah investasi/penanaman modal. Dengan adanya investasi yang baik maka di harapkan akan terciptanya pelayanan publik yang jauh lebih maksimal. Turner dan Hulme (1997: 152) berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani.

Desentralisasi fiskal bisa dipahami sebagai sebuah kebijakan untuk menciptakan perimbangan keuangan Pusat-Daerah. Desentralisasi Fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya terpusat di tangan pemerintah Pusat. Pelimpahan kewenangan ini bukan sekedar memberikan ruang bagi Daerah untuk mengelola keuangan sendiri, melainkan juga menciptakan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, serta untuk mendorong kemandirian Daerah di hadapan pemerintah Pusat. Perwujudan desentralisasi fiskal dilakukan melalui pembesaran alokasi subsisdi dari pemerintah Pusat, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan Daerah, pemberian keleluasaan kepada Daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.

Selain pembagian wewenang (expenditure assignment), pembagian sumber pendapatan (revenue assignment) dan pinjaman daerah, pilar utama desentralisasi fiskal adalah transfer dana dari pusat ke daerah

Disini persoalan muncul menyangkut soal DAU, polemik DAU terletak pada perbedaan cara pandang antara pusat dan daerah tentang DAU. Bagi pusat, DAU dijadikan instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan atau mengisi fiscal gap. Bagi daerah, itu dimaksudkan untuk mendukung kecukupan. Persoalan timbul ketika daerah meminta DAU sesuai kebutuhannya. Di sisi lain, alokasi DAU berdasar kebutuhan daerah belum bisa dilakukan karena dasar perhitungan fiscal needs tidak memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasar standar analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran ( khususnya APBD) belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien.

Demikian pula dengan bagi hasil dari sektor pajak. Daerah sering dipersalahkan karena memunculkan pajak dan retribusi daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Bagi daerah, ini semacam mengais remah-remah PAD karena sumber pajak yang gemuk sudah diserobot pusat. Dalam hal ini, daerah menuntut keadilan dengan sistem bagi hasil yang lebih besar, kalau tidak sumber pajak-pajak gemuk diserahkan ke daerah. oleh karena itu, mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah dalam penentuan DAU. Kebutuhan daerah sedikitnya menyangkut jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis, tingkat pendapatan masyarakat, dan masyarakat miskin.

UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah diterapkan, masih muncul berbagai permasalahan, terutama soal desentralisasi kewenangan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dalam hal desentralisasi fiskal maupun kewenangan pengelolaan SDA, eksploitasi pusat atas daerah menjadi wacana yang tampak pada implementasi otonomi daerah (otda) selama ini. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) dalam desentralisasi fiskal menimbulkan banyak masalah. Hal itu ditandai turunnya investasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi di daerah kaya SDA. Pemerintah pusat dianggap menjadi predatory state yang mengeksploitasi daerah secara besar-besaran, terutama daerah kaya migas seperti (NAD, Papua, Riau, dan Kaltim). Sebagai bukti, meski dikatakan sebagai daerah kaya, pembangunan prasarana ekonomi di daerah itu tertinggal dibanding daerah lain. Ekspresi ketidakpuasan daerah selama ini menjadi fenomena wajar. Misalnya, tentang bagi hasil migas. Kasus 48 daerah penghasil migas yang mengancam memblokade produksi migas di daerahnya pada pertengahan 2002. Saat itu, penetapan SK Menkeu No 24/KM.66/2002 tentang bagi hasil migas dianggap tidak transparan. Sebab, hanya memberikan 1-2 persen dari angka sesungguhnya pengambilan migas di masing-masing daerah.

Problematika pengelolaan SDA dapat dikaitkan dengan kewenangan investasi. Bermula dari terbitnya Keppres No 28 dan 29 Tahun 2004 yang menarik kembali kewenangan investasi ke pemerintah pusat. Meski UU 32/2004 menyatakan pelayanan administrasi penanaman modal menjadi urusan wajib pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Tetapi, RPP sebagai peraturan pelaksana UU 32/2004 dan RUU penanaman modal belum tentu selaras dengan UU 32/2004. Itulah yang dipandang sebagai penyebab menurunnya investasi di daerah. Dalam hal ini memang harus ada transparansi dan bagi hasil yang adil. Bila perlu, daerah boleh menggunakan auditor eksternal untuk menghitung hak sesungguhnya. Skema bagi hasil minyak antara pemerintah pusat dan daerah hanya semu karena bukan bagi hasil yang riil. Profit split 85%-15% antara pusat-daerah dilakukan setelah beberapa kali mengalami potongan pajak dan retensi. Contohnya, Riau. Dengan perhitungan yang ada, dari hasil kotor Rp 50,79 triliun 2000, Riau hanya mendapatkan Rp 3,39 triliun yang berarti hanya 6,67 persen. Hal ini membuktikan bahwa peranan pemerintahan pusat masih terlalu dominan dalam pengexploitasian sumber daya alam dan belum adanya investasi yang maksimal dari pemerintah pusat yang cenderung menghambat jalanya pembangunan di tingkat daerah-daerah.

Rekomendasi Kebijakan

Sejak dilaksanakannya kedua undang-undang tersebut, yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2001, masih ditemukan berbagai permasalahan. Bahkan ide dasar dari desentralisasi itu sendiri masih belum terimplementasikan dengan optimal di Indonesia khususnya yang diindikasikan oleh masih banyaknya ketentuan pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang belum diatur lebih lanjut, adanya tarik ulur kepentingan dalam upaya revisi, adanya perbedaan penafsiran yang melahirkan konflik antar unit pemerintahan (baik Pusat maupun Daerah) dan sebagainya. Secara konseptual, paradigma yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi memang sangat baik. Namun, pengimplementasi desentralisasi masih membutuhkan prakondisi untuk dapat berhasil dengan baik, diantaranya harus didukung oleh perencanaan yang matang agar pembangunan lebih efektif dan efisien dan ditopang oleh dengan ketidak mampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya program desentralisasi untuk dapat mengoptimalkan segara potensi daerah untuk memajukan daerah. Beberapa hal ini lah yang menyebabkan kegagalan disentalisasi di indonesia. Sehingga menyebabkan kurang optimalnya pelaksaan disentralisasi di Indonesia.

Melalui pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu pemerintah daerah harus lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Di Indonesia, tingkat kemiskinannya masih relatif tinggi dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakan-kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin guna mensukseskan program pembangunan. . . . . . . . . . . .. . .

Desentralisasi fiskal di Indonesia yang sudah dimulai sejak tahun 2001. Meskipun masih berumur muda dan secara pelaksanaannya desentralisasi fiskal ini masih mengalami berbagai kendala di lapangan, namun sudah memungkinkan bagi kita untuk melakukan evaluasi jangka pendek.

Dalam hal ini alokasi DAU berdasar kebutuhan daerah belum bisa di tutupi dengan baik karena secara sistematik belum memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasar standar (analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran (khususnya APBD) belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien.

Penutup

Implementasi desentralisasi akan melahirkan tata pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Dengan desentralisasi dan otonomi, pemerintah daerah akan lebih jelas mengetahui kebutuhan masyarakat lokal. Pemerintah daerah merupakan pihak yang paling dekat dengan rakyat. Secara tidak langsung, pemerintah daerah berwibawa untuk bertindak sebagai penghubung antara pemerintah pusat dengan rakyat dengan implementasi desentralisasi, tata pemerintahan yang efektif akan tercapai sehingga tindakan untuk memperbaiki dengan segera dapat di ambil sekiranya terjadi masalah dalam pelaksanaan proses pemerintahan atau pembangunan.

Selain itu , implementasi kebijakan desentralisasi juga dapat memperbaiki ketajaman perencanaan dan pengurusan di dalam birokrasi pusat dalam rangka menyelesaikan mesalah ekonomi, sosial dan politik negara. Implementasi desentralisasi dapat mengurangi beban tugas yang terpaksa di tanggung oleh pemerintah pusat melalui penyerahan kekuasaan dan tanggung jawaab kepada unit-unit pengelola pemerintah daerah.

Partisipasi Politik Kaum Miskin

Pendahuluan

Tulisan ini hendak mengangkat tentang rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat miskin dan problematikanya. Hal ini penting, mengingat selama ini tingkat partisipasi rakyat miskin terutama di Indonesia tergolong rendah, padahal jika dilihat dari jumlah, mereka tidak bisa dikatakan sedikit dan bagaimanapun juga mereka tetap mempunyai hak politik yang sama dengan golongan lainnya. Dan menurut saya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari budaya politik yang terlebih dahulu terbentuk dan juga peran dari sistem dan aktor pemegang kekuasaan. Partisipasi politik kaum miskin merupakan proses dimana anggota masyarakat miskin mampu membagi pandangan mereka dan menjadi bagian dari proses pembuatan keputusan dan berbagai aktivitas perencanaan; kegiatan yang dilakukan masyarakat miskin untuk dapat mempengaruhi keputusan pemerintah. Melalui proses ini kaum miskin berusaha mempengaruhi pemegang kekuasaan dalam merumuskan inisiatif-inisiatif pembangunan, ketika mengambil keputusan-keputusan dan menentukan sumber daya yang nantinya bisa mempengaruhi mereka nantinya.

Di dalam pendekatan pembangunan yang terbaru partisipasi rakyat telah menjadi sarana yang dianggap ampuh untuk menanggulangi persoalan-persoalan kemiskinan. Asumsi yang mendasari pendekatan baru ini adalah bahwa pembangunan (termasuk di dalamnya penanggulangan kemiskinan) akan berhasil bila masyarakat dilibatkan di dalam prosesnya. Untuk itu, berbagai upaya untuk membuka dan menciptakan ruang-ruang publik perlu didukung. Di dalam arena publik itu, warga masyarakat diharapkan dapat ikut menentukan keputusan-keputusan tentang cara mengendalikan dan mengakses sumber daya kolektif yang tadinya didominasi oleh negara. Apakah inisiatif-inisiatif pembukaan ruang bagi kaum miskin untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan (melalui inisiatif partisipatif) itu telah mencapai tujuannya dan faktor apa yang bekerja mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan dari tujuan tersebut?

Bentuk-bentuk Partisipasi Politik (Kaum Miskin)

Bentuk-bentuk partisipasi politik antara lain:

(1). Kegiatan pemilihan, mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dama suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Walaupun demikian pemilihan adalah salah satu bagian dari bentuk partisipasi, jadi tidak bisa dikatakan bahwa jika partisipasi masyarakat dalam pemilihan atau pemungutan suara meningkat berarti bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya juga meningkat demikian juga sebaliknya.

(2). Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan – keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Contoh-contoh yang jelas adalah kegiatan yang ditujukan untuk menimbulkan dukungan bagi atau oposisi terhadap, suatu usul legislative atau keputusan administrasif tertentu.

(3). Kegiatan organisasi, tujuan utama dan eksplisitnya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Organisasi ini dapat memusatkan usahanya kepada kepentingan-kepentingan yang sangat khusus atau pada masalah umum yang beraneka ragam. Menjadi anggota organisasi sudah merupakan bentuk partisipasi politik tak peduli apakah orang yang bersangkutan ikut atau tidak dalam upaya organisasi untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Keanggotan yang tidak aktif dapat dianggap sebagai partisipasi melalui orang lain.

(4). Mencari koneksi ( contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang.

(5). Tindak kekerasan (violence), upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.

Dari kelima bentuk-bentuk partisipasi politik diatas, ternyata tidak semua bisa dilakukan oleh kaum miskin. Hanya dua bentuk partisipasi politik yang “bisa” mereka lakukan, yaitu kegiatan pemilihan dan tindak kekerasan (violence).

Ruang Politik yang Membuka Partisipasi (Kaum Miskin)

Memang partisipasi politik bukanlah sesuatu yang ”given” melainkan sangat tergantung pada keberadaan ruang yang membuka atau membatasi partisipasi. Sejauh ini ada tiga ruang politik yang membuka partisipasi .

· Popular Space : partisipasi yang dilakukan secara aktif oleh warga masyarakat, atau sering disebut dengan “ruang rakyat” .

· Invited Space : partisipasi yang dibuka secara lebar oleh sistem politik (parlemen maupun pemerintah) dengan cara mengundang, membuka atau mendatangi warga. Secara konseptual ini disebut dengan ruang yang disediakan atau diundang.

· Deliberative Space : proses artikulasi yang dilakukan secara bersama dan aktif oleh sistem politik (pemerintah dan parlemen) bersama segmen-segmen warga masyarakat, atau disebut dengan “ruang musyawarah”. Deliberative space tentu juga berbasis pada kuatnya popular space dan invited space.

Dari ketiga ruang partisipasi yang ada -secara ekstrim- tidak ada ruang yang mampu ditembus oleh kaum miskin. Dalam Popular Space, kaum miskin relatif sulit untuk aktif berpartisipasi. Saya juga belum melihat Invited Space yang ada mampu ditembus oleh kaum miskin, entah itu karena kesalahan sistemnya atau implementasinya saja yang belum berhasil. Jika Popular Space dan Invited Space saja tidak dapat digunakan kaum miskin, apalagi Deliberative Space.

Partisipasi Otonom dan Partisipasi Mobilisasi (Kaum Miskin)

Partisipasi otonom adalah partisipasi yang dilakukan oleh seseorang atas dasar minat, keinginan, kesadaran pribadi serta memiliki tujuan tertentu untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Adanya sifat kesukarelaan dalam partisipasi ini tanpa adanya paksaan, ancaman, represif maupun intimidasi dari pihak lain.

Sedangkan partisipasi yang dimobilisasikan adalah adanya pelaku utama (aktor utama) dibalik partisipan yang sengaja menggerakkan mereka, kebanyakan dari para partisipan ini hanyalah mengikuti instruksi dari para aktor tersebut.

Jika melihat keadaan selama ini, saya rasa partisipasi politik kaum miskin di Indonesia termasuk dalam partisipasi yang dimobilisasikan. Jarang sekali yang termasuk dalam partisipasi otonom. Hal ini dapat kita lihat misalnya dari kegiatan pemilihan, seperti pemilu atau pilkada. Kaum miskin biasanya menjadi sasaran empuk bagi aktor politik yang berkepentingan untuk memenangkan pemilihan tersebut., biasanya dengan instruksi yang disertai dengan kekerasan, intimidasi, ancaman ataupun bayaran.

Apakah partisipasi yang dimobilisasikan yang dilakukan kaum miskin dianggap sebagai partisipasi politik? Banyak orang beranggapan bahwa partisipasi politik hanya bisa terjadi bila rakyat melakukannya secara sukarela atau otonom, tanpa paksaan dari pihak lain di luar dirinya. Dengan kalimat lain, partisipasi politik identik dengan sistem politik demokratis. Pandangan seperti itu melahirkan konsekuensi tidak diakuinya segala bentuk partisipasi politik dalam sistem politik yang tidak demokratis. Maka tidaklah mengherankan jika Huntington juga sampai pada konklusi bahwa bahkan dalam sistem demokrasi pun, partisipasi politik tetap saja tidak bisa sepenuhnya lepas dari unsur manipulasi dan tekanan.

Argumen Teoritis

Partispasi warga negara (private citizen) bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1977:3).

Namun dalam kenyataanya di lapangan partisipasi masyarakat yang diharapkan guna memberi masukan kepada pemerintah untuk merumuskan sebuah kebijakan justru sedikit sekali yang berasal dari kaum miskin padahal di dalam implementasinya masyarakat miskinlah yang paling besar menerima dampak dari sebuah kebijakan. Selama ini pemerintah terkesan sepihak dalam memformulasikan sebuah kebijakan publik padahal dalam hal ini masyarakatlah yang lebih tahu bagaimana keadaan mereka yang sesungguhnya. Tindakan semacam ini secara tidak langsung dapat memunculkan sikap apatis masyarakat terhadap pemerintah. Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena beberapa sebab:

1. adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik.

2. adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak berhasil.

3. mereka tinggal dalam lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu tindakan yang lebih bermaanfaat.

Dalam beberapa kasus, tindakan apatis bukanlah masalah yang harus selalu di permasalahkan karena tindakan acuh tak acuh dapat menjadi positif apabila memberikan fleksibilitas pada sistem politik dibandingkan dengan masyarakat yang terlalu aktif sehingga menjurus pada pertikaian yang berlebihan. Beberapa hal di atas adalah faktor-faktor internal yang ada di lingkup masyarakat sendiri dan yang terjadi di indonesia sekarang adalah sebaliknya, kurangnya partisipasi masyarakat miskin cendrung berasal dari faktor external yaitu kurangnya adanya ruang yang di berikan dari pihak pemerintahan sebagai perumus sebuah kebijakan.

Dengan keadaan ekonomi yang begitu susah, didukung lagi dengan keadaan politik dan pemerintahan kita yang semakin kacau dan semakin kapitalis ini, apakah mereka masih punya harapan untuk meminta perlindungan dan penghidupan yang lebih layak kepada pemerintah dengan ikut aktif berpartisipasi untuk mengisi ruang publik yang terbuka lebar saat ini? Menurut penelitian Samuel Huntington dan Joan Nelson yang dilakukan di negara-negara berkembang menyimpulkan bahwa orang-orang miskin biasanya tidak begitu antusias dalam berpartisipasi politik. Hal ini disebabkan karena :

1. pada umumnya, lingkup kegiatan pemerintah yang mempunyai relevansi langsung dengan kebutuhan ataupun kepentingan rakyat miskin sangat terbatas. Contohnya dalam pelayanan kesehatan ataupun program-program pekerjaan umum untuk mengurangi penggangguran. Jikalau negara menyediakan pelayanan kesehatan, mereka akan memberikan pelayanan dengan kualitas dan fasilitas yang sangat minim dan tidak berkualitas.Dengan adanya keterbatasan lingkup ini maka usaha-usaha masyarakat untuk mengadakan kontak baik secara perorangan maupun kelompok dengan badan-badan pemerintahan untuk membantu mengatasi atau memenuhi kebutuhan mereka yang mendesak dianggap tidak relevan lagi atau sangat tidak mungkin untuk dilakukan. Dan menurut mereka (rakyat miskin) lebih tidak masuk akal lagi untuk melakukan tindakan kolektif bersama dengan kaum miskin lainnya dalam upaya untuk mempengaruhi pemerintah.

2. dengan adanya space yang sangat tidak mungkin untuk mereka akses agar dapat benar-benar bisa mengartikualsikan kepentingannya kepada pemerintah dan pemerintah benar-benar dapat mengapresiasi dan merealisasi keinginan mereka, maka mereka malah lebih mengandalkan orang lain. Mereka lebih berpaling kepada anggota-anggota keluarga atau tetangga mereka yang bisa membantu, pendeta atau pemuka-pemuka agama lainnya, pemilik warung, tuan tanah, guru atau mungkin bisa siapa saja yang lebih baik nasibnya dan mampu membantu mereka.

3. karena ketidaktahuan mereka, terutama rakyat miskin yang berada di daerah pedesaan. Mereka mungkin tidak tahu bahwa ada kebijaksanaan dan program-program pemerintah yang berhubungan langsung dengan kepentingan mereka, hal ini dikarenakan karena adanya keterbatasan teknologi informatika untuk mengakses informasi disana dan adanya keterbatasan pendidikan dan pengetahuan rakyat di daerah pedesaan. Kita ketahui bahwa di kebanyakan daerah pedesaan pendidikan dan perkembangan informasi berjalan sangat lamban dan apabila mereka mendapatkan informasi, mereka mungkin juga tidak menyadari bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kepentingan-kepentingan mereka dengan kebijakan-kebijakan tertentu yang dijalankan oleh pemerintah, seperti kurs mata uang asing, insentif perpajakan yang mendorong inflasi yang semuanya itu memiliki dampak langsung atas kepentingan mereka (rakyat miskin).

4. rakyat miskin tidak memiliki sumber-sumber daya untuk berpartisipasi secara aktif dan efektif, informasi yang kurang memadai, tidak memiliki kontak-kontak yang tepat dan seringkali juga waktu.

5. orang miskin cenderung untuk beranggapan bahwa permohonan-permohonan ataupun tekanan-tekanan dari pihak mereka apakah yang dilakukan secara perorangan ataupun kolektif, akan dianggap sepi atau ditolak oleh pemerintah dan anggapan itu sering kali benar

Philipus M. Hadjon ( 1997: 4-5 ) mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan

Diskusi Kasus

Partisipasi Politik Kaum Miskin Sebelum dan Sesudah Reformasi

Kita ketahui bahwa sebelum reformasi, sistem politik yang berlangsung di Indonesia adalah sistem politik yang tertutup, partisipasi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang remeh dan tidak terlalu penting bagi pemerintah. Pemerintah selalu yakin bahwa dialah satu-satunya aktor yang benar-benar tahu akan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Atas nama pembangunan dan kesejahteraan yang ditafsirkan sepihak oleh pemerintah, kebijakan publik acapkali membawa malapetaka bagi masyarakat karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Tidak adanya ruang yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik mengakibatkan kebijakan publik yang dibuat seringkali tidak sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat.

Di masa lalu (Orde Baru), aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik sangat terbatas dan hanya berkisar di lingkaran kecil elite birokrasi dan militer. Sehingga beragam artikulasi kepentingan di luar birokrasi lebih banyak ditanggapi melalui proses klientelisme atau penyerapan (absorsi) tanpa proses pelibatan aktor extra state. Dalam posisi seperti itu, masyarakat hanya dibutuhkan apabila diundang (invited space) oleh birokrasi negara. Atau bahkan, lebih banyak dilibatkan dalam kerangka mobilisasi dibandingkan partisipasi. Setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998, aktor-aktor yang terlibat dalam proses politik semakin plural dan semarak. Kalau di masa lalu, aktor politik yang dominan hanyalah birokrasi dan militer, maka saat ini aktor yang terlibat sangat beragam dan tersegmentasi menurut garis profesi, kelas, kelompok, kepentingan dan lain-lain.

Dengan lahirnya reformasi, ada dua perubahan besar yang terjadi di Indonesia yaitu demokratisasi dan desentralisasi. Dengan adanya demokrasi, tuntutan membuka ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi. Dalam sistem politik demokratis, perumusan kebijakan publik mensyaratkan hal-hal mendasar yang sebelumnya terabaikan, yaitu melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembuatan kebijakan. Jika dalam sistem politik tertutup dan otoriter (rejim orde baru) proses pembuatan kebijakan publik lebih beorientasi kepada kepentingan negara (state oriented), maka dalam sistem politik terbuka dan demokratis ini proses kebijakannya lebih diorientasikan untuk kepentingan masyarakat (society oriented). Kalau kita ingin menjadikan demokrasi sebagai ruh perubahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara maka keterlibatan dan keterwakilan publik dalam proses-proses kebijakan harus diperkuat karena demokrasi dan good governance pada dasarnya berkaitan dengan bagaimana mengejawantahkan kehendak dan kebutuhan publik ke dalam kebijakan .

Apakah konsep demokrasi secara otomatis membawa perbaikan nasib rakyat miskin dan partisipasi politik masyarakat miskin sudah tersalurkan??

saya rasa hal ini belum memberikan perubahan yang cukup signifikan. Buktinya, nyaris sepuluh tahun kita menjalani era demokrasi, tapi faktanya nasib kaum miskin tetap saja merana. Petani, buruh, buruh tani, pedagang kaki lima, pengusaha lemah, penganggur, justru makin hari kian sulit mengusahakan penghidupannya.

Janji-janji parpol atau politisi yang pada dasarnya adalah ruang utama masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam menyalurkan suara justru begitu meninabobokan kaum miskin selama kampanye, seolah sah-sah saja jika tidak direalisasikan seusai pemilu. Elite politik lalu sibuk sendiri dengan agenda pembagian jatah kursi, pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, ataupun program-program elitis lainnya. Sedangkan kaum miskin dilupakan begitu saja, kecuali dengan sejumlah kecil program karikatif seperti bantuan langsung tunai atau beras keluarga miskin (raskin) yang lebih terkait politik pencitraan pemerintah belaka dan hampir tak berdampak pemberdayaan ekonomi rakyat miskin.

Melalui demokrasi, rakyat miskin secara politik memang berdaulat. Tapi tidak demikian dalam lapangan ekonomi. Kaum penguasa memang leluasa memilih parpol atau wakilnya selama pemilu. Namun begitu pemilu rampung, rakyat kecil harus menghadapi lagi kenyataan: nasib mereka tak juga lebih baik.

Bahkan, tak sedikit kaum miskin yang justru merasakan, sesudah era demokrasi, nasibnya malah lebih buruk: jadi korban PHK, diubah statusnya dari karyawan tetap menjadi buruh kontrak, menjadi petani padi yang terus merugi, bangkrut karena kalah bersaing dengan usaha raksasa transnasional, atau digusur lokasi usahanya demi ketertiban kota.

Di sini mestinya dipahami bahwa hidup sejahtera ialah salah satu hak asasi rakyat. Dengan demikian, demokrasi ekonomi dengan sendirinya meniscayakan hak setiap rakyat untuk disejahterakan kehidupannya oleh penyelenggara negara.

Proyeksi kedepan

Menurut Myron Wiener, ada dua faktor pendorong bagi menguatnya partisipasi politik. Pertama, tumbuhnya angkatan kerja perkotaan yang bekerja di sektor industri yang mendorong timbulnya organisasi buruh. Kedua, pertumbuhan komunikasi massa yaitu karena perkembangan penduduk, transportasi, komunikasi antara pusat-pusat kota dan daerah terbelakang, penyebaran surat kabar, penggunaan radio, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kesadaran anggota masyarakat akan pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap tiap-tiap warga negara. Ada dua indikator dalam menjelaskan pola partisipasi politik. Pertama, kesadaran politik yakni kesadaran seseorang akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang menyangkut pengetahuannya mengenai lingkungan masyarakat dan politik serta menyangkut minat dan perhatiannya terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Kedua, kepercayaan politik yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah dan sistem politik yang ada, apakah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Dengan mengkorelasikan kesadaran politik dan kepercayaan politik itu, Paige kemudian membagi pola partisipasi politik menjadi empat tipe:

1. Partisipasi politik dikatakan aktif apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan politiknya tinggi.

2. Partisipasi politik terlihat apatis jika tingkat kesadaran dan kepercayaan politik rendah.

3. Partisipasi politik cenderung militan-radikal apabila kesadaran politik tinggi, tetapi kepercayaan politik rendah.

4. Partisipasi politik cenderung pasif jika kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan politik tinggi.

Pola partisipasi politik yang ditunjukkan melalui kadar tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan politik seperti dikemukakan di atas, pada dasarnya ditentukan oleh setidak-tidaknya tiga faktor utama, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan sistem. Dalam sistem negara demokratis, partisipasi politik merupakan elemen yang penting. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan kolektif. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurangnya diperhatikan dan sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan yang berwenang yang diwujudkan dalan sebuah keputusan. Masyarakat percaya bahwa kegiatan yang mereka lakukan mempunyai efek (political efficacy).

Kesimpulan

bagi kebanyakan kaum miskin dalam kondisi-kondisi yang paling lazim, partisipasi politik, baik dulu maupun sekarang secara objektif merupakan suatu cara yang sulit dan mungkin tidak efektif untuk menanggulangi masalah-masalah mereka. Hasil survei yang dilakukan Huntington di beberapa negara berkemabang mencerminkan hal itu, hanya sebagian kecil saja dari orang-orang yang berpenghasilan dan berpendidikan rendah yang mempunyai minat dalam politik dan menganggap politik relevan dengan urusan mereka dan mereka juga merasa bisa ikut mempengaruhi pemerintah dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.

Agar kaum miskin bisa berpartisipasi sesuai dengan semestinya, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain:

1) Ruang politik. Pemerintah harus mengembangkan struktur kesempatan politik yang mampu memfasilitasi proses partisipasi agar bisa berjalan dan berkembang dengan optimal. Sistem politik dan institusi publik yang ada harus memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya partisipasi

2) Ruang sosial. Partisipasi hanya bisa berjalan dengan baik apabila struktur sosial yang ada di dalam masyarakat bersifat egaliter. Apabila masih kental nuansa patron-clientnya dan sangat elitis maka dalam setiap pembuatan keputusan hanya melibatkan segelintir elite yang mereka hormati dan tidak akan bersifat partisipatif (masyarakat dapat terlibat aktif). Para elite ini sangat berpotensi dalam memobilisasikan massa atau mengatasnamakan rakyat untuk menggolkan keinginan mereka.

3) Kesediaan dan kepercayaan. Disini dituntut adanya kesediaan dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus bersedia dalam memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk terlibat dna mempengaruhi keputusan-keputusan yang ada dalam proses kebijakan. Jikalau belum ada kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi maka seyogyanya pemerintah bersedia membuka ruang dan mekanisme yang memungkinkan partisipasi tersebut bisa tumbuh dan berkembang. Selain itu juga adanya keharusan dari kesediaan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang ada. Kesediaan ini akan muncul jika kesadaran citizenship (kesadaran nasional) akan pentingnya hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara sudah mengakar dalam benak masyarakat. Tanpa adanya kesediaan masyarakat maka mustahil untuk terjadi proses partisipasi karena hasrat publik merupakan input utama yang akan dikonversikan menjadi kebijakan yang lebih responsif dan accountable.

4) Kemampuan, keleluasaan dan kesediaan yang ada harus didukung oleh kemampuan pemerintah dan masyarakat (miskin) untuk mewujudkan nilai, prinsip dan mekanisme partisipasi.

Daftar Pustaka

1. Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Parpol – Sebuah Bunga Rampai.Jakarta.

2. Gaffar, Afan. Partisipasi Politik ( Saduran dari “ No Easy Choice” Political Participation in Developing Countries).1980. Yogyakarta : Fisipol UGM

3. Gaffar, Afan. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Countries

4. Haryanto. Sistem Politik : Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Liberty

5. Huntington, Samuel, Joan Nelson. Partisipasi Politik di Negara berkembang. 1994. Jakarta : PT Rineka Cipta

6.http://akatiga.org/programpenelitian/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=18


Senin, 11 Agustus 2008

Pernyataan Sikap Koalisi LSM untuk Penyempurnaan Paket UU Politik

Batasan Syarat Nominasi Pasangan Capres dan Wapres: Jangan Tutup Pasangan Calon Alternatif”

Syarat ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan salah satu isu yang sedang di bahas di Rapat Panja (Panja) RUU Pilpres, yang berlangsung di Hotel Santika sejak kemarin malam. Isu ini diperkirakan akan menjadi sebuah isu yang krusial dan sulit untuk disepakati dengan mudah di dalam Panja. Seperti yang diberitakan oleh media massa saat ini pembahasan syarat ambang batas telah mengerucut pada dua pilihan yaitu 15% dan 30% dari jumlah kursi DPR.

Sebenarnya kalau kita merujuk pada konstitusi, UUD 1945 pasal 6A, syarat pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sangatlah sederhana. Pasal tersebut menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Kemudian adanya syarat ambang batas (persentase jumlah kursi atau suara sah) bagi partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mencalonkan merupakan norma atau aturan tambahan. Tentu saja norma tambahan tersebut diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan konstitusi.

Besaran ambang batas tersebut akan berpengaruh terhadap potensi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu yang selanjutnya juga akan memengaruhi tingkat kompetisi dalam sebuah pemilu. Semakin tinggi besaran persentasi batasan dukungan minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengajukan pasangan calon, maka semakin sedikit jumlah pasangan calon yang akan berkompetisi. Sebaliknya, semakin kecil persentase yang dipersyaratkan maka kemungkinan jumlah pasangan calon akan semakin banyak.

Pilihan 30% dari jumlah kursi DPR bukanlah pilihan yang tepat. Jika syarat ambang batas 30% ini yang dipilih maka dapat dipastikan pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi sangat terbatas. Jumlah pasangan paling banyak hanya 3 pasang. Namun sangat mungkin terjadi dengan batasan 30% dari jumlah kursi DPR jumlah pasangan presiden dan wakil presiden yang dicalonkan hanya 2 pasang. Bisa ditebak, hanya partai politik besar saja yang bisa mendominasi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Terbatasnya jumlah pasangan calon menyebabkan masyarakat pemilih tidak memiliki peluang untuk memilih dari jumlah yang cukup alternatif pasangan calon. Selanjutnya,terbatasnya alternatif pasangan calon yang bersaing di dalam pemilu tingkat partisipasi pemilih diperkirakan akan berkurang secara signifikan, karena banyak pemilih yang tidak merasa terwakili oleh kontestan yang terbatas.

Pendapat yang mengatakan bahwa batasan ini perlu dinaikan sampai dengan 30% dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil tidak sepenuhnya benar. Ambang batas 30% kursi di DPR juga tidak memberikan jaminan akan terciptanya pemerintahan yang dimaksudkan tersebut. Persyaratan ambang batas ini merupakan persyarata administrative dalam pencalonan, bukan persyaratan dukungan terhadap pemerintaha terbentuk selama masa jabatannya. Di dalam sistem presidensial, Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan mempunyai legitimasi kuat,


pemerintahannya dapat berjalan efektif lebih ditentukan oleh pengaturan kewenangan dan hubungannya dengan parlemen, serta kematangan berpolitik para elit di lembaga legislative maupun eksekutif.

Argumentasi menaikan ambang batas pencalonan dinaikan menjadi 30% untuk menghindari pemilu Presiden dan Wakil Presiden dua putaran, sebetulnya sudah secara langsung bertentangan dengan makna sistem pemilu dua putaran yang ada dalam konstitusi. Sistem pemilu dua putaran dimanapun mempunyai dua karakter utama, yaitu pertama, membuka ruang yang besar untuk adanya cukup alternatif calon, dan yang kedua, mendapatkan calon terpilih akhirnya yang mempunyai legitimasi tinggi, yaitu memperoleh dukungan suara mayoritas mutlak.

Oleh karena itu KOALISI LSM UNTUK PENYEMPURNAAN PAKET UU POLITIK mendorong DPR RI melalui Panja RUU Pilpres untuk mensepakati ambang batas partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebesar 15% dari jumlah kursi DPR RI. KOALISI LSM UNTUK PENYEMPURNAAN PAKET UU POLITIK mendukung pilihan ini dengan beberapa alasan sebagai berikut:

1) Batasan 15% dari kursi DPR RI merupakan angka yang moderat, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Batasan ini memberikan peluang yang lebih besar bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan calonnya. Namun demikian batasan 15% ini tidak akan memunculkan pasangan calon yang terlalu banyak. Dengan batasan 15% ini diperkirakan akan terdapat paling banyak 6 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian masyarakat pemilih akan memiliki alternatif pilihan yang cukup untuk memilih pasangan calon yang terbaik

2) Dengan memiliki alternatif pilihan yang cukup bagi masyarakat pemilih, diharapkan partisipasi masyarakat dalam pemilu presiden akan meningkat.

3) Dengan memutuskan batasan dukungan sebesar 15% DPR dapat menunjukkan kepada publik bahwa DPR memiliki konsistensi untuk melaksanakan peraturan yang sudah dibuatnya yaitu UU No 23/2003 yang belum dilaksanakan secara konsekuen pada pemilu 2004.

4) Sebaliknya jika DPR kembali mengubah batasan tersebut kepercayaan publik kepada DPR akan semakin menurun. Hal ini disebabkan publik akan menilai DPR telah melakukan persengkokolan politik demi kepentingan kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan rakyat pemilih kebanyakan.

Demikianlah pernyataan sikap ini kami sampaikan dengan harapan mampu mendorong terciptanya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lebih berkualitas dan demokratis di Indonesia.

Sumber : www.Cetro.or.id