Jumat, 18 April 2008

kenapa harus UAN ??

Mungkin dalam bulan-bulan ini banyak orang terutama pelajar baik setingkat smp ataupun sma mulai berdebar-debar menanti perhelatan akbar tahunan yang di selenggarakan pemerintah,memang cukup beralasan?adanya tuntutan standar minimum uan sebesar 5,25 dari pemerintah cukup membuat pusing guru,wali murid dan siswa. Bayangkan saja sekolah yang di tempuh dalam tiga tahun hanya di tentukan dalam tiga hari.kalau memang tidak mampu mencukupi standart dari pemerintah ya maaf mungkin anda bisa coba lagi tahun depan atau ikut kejar paket C. Kebijakan seperti ini banyak sekali menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.ada sebagaian kalangan yang mengatakan kebijakan seperti ini adalah indikasi dari peningkatan mutu pendidikan di Indonesia ada juga yang mengatakan kalau dengan adanya uan pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran.

Kalau menurut saya pribadi lebih cenderung mengatakan hal ini sebagai sebuah kemunduran dalam kemajuan,kenapa saya mengatakan hal seperti ini??memang bagus konsep pemerintah tentang adanya uan dan standarisasi nilai sebagai parameter kelulusan,hal ini dapat memacu siswa untuk belajar mati-matian untuk mengejar standart yang di berikan dan pihak sekolah semakin terdorong untuk meningkatkan kualitas pembelajaran akan tetapi di sisi lain dengan adanya standarisasi nilai seperti ini belum dapat di katakana kalau mutu pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan menurut saya hal semacam ini tidak dapat di gunakan sebagai parameter dalam mengukur kualitas pendidikan. Karena secara teknis kualitas pendidikan tidak bisa di tentukan dengan penilaian yang berorientasi pada nilai,banyak siswa yang sebenarnya memiliki potensi lebih dan bisa di katakana unggul dalam penguasaan materi pelajaran tapi malah justru tidak lulus hal ini membuktikan bahwa UAN hanya malah memberikan tekanan psikologis pada siswa. Bahkan secara psikologi siswa selaku penerima dampak dari kebijakan ini malah menganggap Uan sebagai suatu momok yang di takuti yang sering menimbulkan stres,dan orientasi setiap siswa akan cenderung berorientasi pada bagaimana cara agar dapat memenuhi standart kelulusan dan bukan bagaimana agar saya bisa menguasai mata pelajaran yang di berikan di sekolah. Adanya pradigma semacam ini agaknya harus segera di hilangkan perlu adanya pengkajian tentang dampak psikologis yang timbul karena UAN.

Adanya bimbel tambahan di sekolah maupun di luar sekolah yang di ikuti pelajaar itu juga menjadi salah satu indicator bahwa UAN adalah momok yang di takuti, pendidikan informal ini adalah bukti nyata bahwa siswa telah melewati tahap-tahap di mana beban sikologi tidak lagi terkontrol,mereka berusaha mengurangi ketakutan tersebut dengan mengikuti bimbingan belajar.

Perlu dipertanyakan bagaimana birokrasi menghadapi situasi yang semacam ini?? Apakah birokrasi harus menyediakan sikolog ataukah evaluasi lagi tentang kebijakan ini,sebegitu besar dampak yang di timbulkan hanya karena sebuah cap legalisasi kelulusan dari pemerintah.,

kelangkaan minyak tanah,siapa yang salah???

Kelangkaan minyak tanah tidak hanya terjadi di berbagai wilayah yang menjadi tempat konversi energi dari minyak tanah ke elpiji. bahkan sekarang dampaknya sudah meluas ke berbagai wilayah di Indonesia yang tidak menjadi kawasan konversi.Antrian panjang pembelian menyak tanah akhir-akhir ini sering terjadi.tak dapat di pungkiri bahwa salah satu penyebab antrian tersebut adalah tidak maksimalnya pelaksanaan program konversi minyak tanah ke gas elpiji,berdasarkan siaran pers dari BHP di sebutkan bahwa pembagian tabung elpiji di Jakarta dan sekitarnya baru mencapai 40% dari target. Akan tetapi justru realisasi minyak tanah yang di tarik justru melebihi target. Berdasarkan informasi dari pertamina ,realisasi minyak tanah yang berhasil di tarik sebesar 163.162 kilo liter dari target 133.362 kilo liter. Dengan hal ini bisa kita pastikan bahwa sebenarnya memang pasokan minyak tanah kurang karena realisasi konversi lebih kecil dari jumlah minyak tanah yang di tarik.program konversi minyak tanah ke kompor gas menargetkan konversi 5,2 juta kilo liter minyak tanh ke 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010. tujuan tujuan utama program konversi adalah mengurangi beban subsidi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) terhadap bahan bakar minyak yang nilainya mencapai Rp 60 triliun. Jika implementasi program konversi tidak di perbaiki ,maka bisa di pastikan target penghematan tidak tercapai dan antrian panjang minyak akan terus terjadi.

Seharusnya Untuk program konversi harus di tentukan dulu siapa masyarakat penerima program agar parameternya lebih jelas, apakah masyarakat miskin atau menengah.perlu di buat analaisis untuk mengetahui karakternya ,tingkat daya beli hingga jenis pekerjaan.salah satu contoh hasilnya adalah di ketahuinya frekuensi pembelian minyak tanah dan jumlah setiap membeli.

Sepertinya pemerintah mulai mendapat hambatan,hal ini dapat terlihat dari berbagai masalah yang timbul di lapangan dan agaknya pemerintah masih belum terlalu siap untuk menghadapi hal semacam ini.karena sampai sekarang belum ada mekanisme yang jelas dalam mengatasi masalah yang terjadi.. masalah kelangkaan minyak tanah yang di sebabkan oleh kebijakan konversi ini seolah-olah bukan disebabkan oleh kelalaian negara melaksanakan kewajibannya, tetapi sebagai masalah rumah tangga belaka dan rendahnya perekonomian masyarakat.

Pemerintah dirasakan semakin kacau dalam mengelola perekonomian saat ini. Dan ini dibuktikan, langkah penghentian subsidi bahan bakar minyak merupakan salah satu petunjuk kalau pemerintah di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla (MJK) semakin kelabakan dalam mengelola keuangan negara. Dan akhirnya, subsidi BBM tidak lagi mampu dilakukan pemerintah, karena hal itu menjadi beban terkait defisit APBN yang semakin tinggi.

Dari data yang ada hingga saat ini Anggaran subsidi pada APBN 2008 juga mengalami pembengkaan jika dibandingkan dengan angka dalam RAPBN. Total anggaran subsidi pada RAPBN sebesar Rp 92,624 triliun, dengan rincian subsidi energi Rp 74,54 triliun dan subsidi nonenergi Rp 18,08 triliun. subsidi energi terdiri atas subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 45,8 triliun dan subsidi listrik Rp 29,78 triliun. Khusus untuk subsidi listrik, angkanya lebih tinggi Rp 1,9 triliun dari RAPBN 2008 sebesar Rp 27,8 triliun.Sedangkan, subsidi nonenergi Rp 22,28 triliun terdiri atas subsidi pangan Rp6,6 triliun, pupuk Rp 7,51 triliun, benih Rp 725 miliar, dan public service obligation (PSO/kewajiban layanan publik) Rp 1,68 triliun. Lalu kredit program Rp 2,148 triliun, subsidi minyak goreng Rp 600 miliar, dan subsidi pajak Rp 3 triliun

Adanya defisit APBN yang semakin signifikan mendorong pemerintah untuk semakin mempercepat pengimplementasian konversi minyak tanah ke gas elpiji di tingkat masyarakat dengan berbagai cara,diantaranya dengan mengurangi distribusi minyak tanah ke daerah-daerah dan dengan mencabut subsidi bahan bakar minyak terutama minyak tanah. Di wilayah konversi,seharusnya penarikan setiap liter minyak tanah digantikan dengan 0,56 kg elpiji.akan tetapi pada kenyataanya di lapangan tidak seperti itu. Infrastruktur elpiji belum siap,masyarakat miskin masih banyak yang belum mendapatkan tabung dan kompor akan tetapi tetapi minyak tanah sudah ditarik dari peredaran. Dalam implikasinya tindakan semacam ini malah banyak memunculkan permasalahan di lapangan.

Langkah menghentikan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah terang saja berdampak semakin memperburuk kondisi kehidupan masyarakat.ditambah dengan program peralihan minyak tanah (konversi minyak tanah) ke bahan bakar gas jelas bisa dikatakan belum berjalan seperti semestinya.

Perlu sekali adanya kesadaran pemerintah bahwa penggunaan gas di masyarakat itu bukanlah hanya sebuah kebutuhan bahan bakar untuk keperluan memasak.dapat kita ambil contoh lainya misalnya saja para nelayan yang ada di daerah pesisir pantai tentu akan terbebani dengan biaya melaut yang semakin besar.

Menurut cacatan Bappenas (2004), lebih dari 84 persen dana subsidi BBM yang selama ini diberikan pemerintah dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas. Sementara hanya sekitar 16 persen saja dari subsidi BBM tersebut, yang dapat dinimati oleh kelompok masyarakat miskin dan termiskin. Padahal selama ini pemerintah menerapkan kebijakan memberikan subsidi BBM tersebut dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Namun ternyata di lapangan, harapan pemerintah tersebut tidak dapat terwujudkan dengan baik., konsep tentang pembuatan kebijakan mengenai konversi patut di pertanyakan apakah ada jaminan bahwa dengan dicabutnya subsidi BBM akan dapat mensejahterakan masyarakat miskin.Yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat cukup kelabakan mengingat gas itu sendiri tidak dapat dipergunakan masyarakat sebagai pengganti bahan bakar penerangan seperti minyak tanah. tak mengherankan kalau kebijakan pemerintah menghentikan subsidi BBM dan menarik penggunaan minyak tanah diganti dengan bahan bakar gas itu dianggap sebagai kebijakan yang terlalu tergesa-gesa dan terlalu di paksakan. bisa di asumsikan bahwa langkah pemerintah itu hanya ingin mengurangi defisit APBN karena beban subsidi BBM sudah di anggap terlalu tinggi, tanpa dilakukan pengkajian yang matang kalau mayoritas masyarakat di Indonesia masih dominan mempergunakan bahan bahan bakar minyak seperti minyak tanah untuk bahan bakar penerangan atau untuk kegiatan perekonomian lain.

demokratisasi di era reformasi ini tidak menjadi jalan menuju kesejahteraan rakyat, tetapi sekadar pemenuhan minimal tuntutan-tuntutan minoritas yang kerap dianggap mengusik keberlakuan NKRI. Dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum tidak perlu menunggu pengaduan korban, tetapi dapat proaktif mencari tahu apa masalah yang terjadi sebenarnya di tingkatan masyarakat dan bukan hanya menganalisa suatu permasalahan lewat teory dan formulasi kebijakan yang telah di buat ataupun lewat laporan-laporan yang di suguhkan oleh pejabat terkait,sekaligus proaktif dalam setiap permasalahan social yang ada.

kualitas pelayanan publik

Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usah Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui keputusan keputusan sebagaimana tersebut di atas, tetapi juga melalui peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan dalam diklat-diklat struktural pada berbagai tingkatan.

Tuntutan reformasi yang bergulir sejak tahun 1997, bersamaan dengan arus globalisasi yang memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perbaikan ekonomi, mendorong pemerintah untuk kembali memahami arti pentingnya suatu kualitas pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan. Perbaikan pelayanan pemerintah ini, tidak saja ditujukan untuk memberi iklim kondusif bagi dunia usaha nasional namun juga meningkatkan daya tarik arus investasi ke Indonesia karena kredibilitas dan kemudahan yang meningkat. Penyediaan pelayanan pemerintah yang berkualitas, akan memacu potensi sosial ekonomi masyarakat yang merupakan bagian dari demokratisasi ekonomi. Penyedian pelayanan publik yang bermutu merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang semakin berkurang, akibat krisis ekonomi yang terus menerus berkelanjutan pada saat ini. Hal tersebut menjadikan pemberian pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat menjadi semakin penting untuk dilaksanakan.

Public services oleh birokrasi adalah salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi negara. Setelah era reformasi, tantangan birokrasi sebagai pemberi pelayanan kepada rakyat mengalami suatu perkembangan yang dinamis seiring dengan perubahan didalam masyarakat itu sendiri. Rakyat semakin sadar akan apa yang menjadi haknya serta apa yang menjadi kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dibalik itu, rakyat semakin berani mengajukan tuntutan-tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Tuntutan reformasi, birokrasi dituntut untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dulu, birokrasi suka mengatur dan memerintah arus diubah menjadi suka melayani, dulu yang menggunakan pendekatan kekuasaan harus diubah menjadi suka menolong menuju kearah yang lebih fleksibel kolaboratis dan dialogis serta yang dulu dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang lebih realistis pragmatis. Melalui revitalisasi ini, birokrasi publik diharapkan lebih baik dalam memberikan pelayanan publik serta menjadi lebih profesional dalam menjalankan tugasnya serta kewenangannya. Ada beberapa fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya yaitu:

- fungsi pelayan masyarakat (public service function).

- fungsi pembangunan (development function).

- fungsi perlindungan (protection function).

Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.

Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:

a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.

f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.

g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.

Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

Kondisi pelayanan publik di Indonesia bahkan cenderung memrihatinkan. Tragisnya, para pengelola negara yang memiliki kompetensi membuat kebijakan publik justru lebih disibukkan dengan kepentingan masing-masing. Yang menyakitkan, era desentralisasi banyak dimanfaatkan segelintir orang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya sehingga wilayah publik menjadi terabaikan.


haruskah busung lapar terjadi??

Menyikapi kasus busung lapar yang terus terjadi, belum tampak adanya langkah-langkah berarti dari pemerintah, mencegah terulangnya busung lapar. Selama ini pemerintah masih reaktif, memberi bantuan pangan kepada mereka yang tertimpa kelaparan ketika jatuh korban dan menjadi perbincangan publik di media massa. Kasus busung lapar dan kekurangan gizi seolah-olah bukan disebabkan oleh kelalaian negara melaksanakan kewajibannya, tetapi sebagai masalah rumah tangga belaka.

Kelaparan yang berakhir dengan kematian adalah pelanggaran hukum positif. Kasus busung lapar yang berujung pada kematian cukup memenuhi unsur pidana. Desentralisasi di era reformasi ini tidak menjadi jalan menuju kesejahteraan rakyat, tetapi sekadar pemenuhan minimal tuntutan-tuntutan lokal yang kerap dianggap mengusik keberlakuan NKRI. Dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum tidak perlu menunggu pengaduan korban, tetapi dapat proaktif memeriksa para pejabat negara yang terkait.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, misalnya, kita masih menemukan sejumlah persoalan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tidak bisa diatasi secara efektif, semisal proses penyusunan RAPBD yang bermasalah, praktek korupsi yang berkelanjutan, konflik kelembagaan pemerintahan yang berkepanjangan, pelayanan publik yang kian memburuk, jumlah angka kemiskinan yang masih tinggi, masalah gizi buruk yang belum teratasi, dan sebagainya.

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2002 mengungkap kematian bayi di NTB 74/1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr. Magdalena, dari hasil pencatatan yang dilakukan petugas kesehatan tahun 2007 angka itu 1.336 dari 94.444 kelahiran hidup atau 14/1.000 kelahiran hidup.

Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002, kematian ibu saat melahirkan di NTB tercatat 115 orang. Angka itu meningkat menjadi 133, tahun 2003. Angka kematian ibu menurun tahun 2004 yakni 118 orang, dan terus menurun tahun 2005 (108), tahun 2006 (97), dan 2007 turun lagi menjadi 95 orang.

Ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa.

Terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban ketidakseimbangan antara pengeluaran dengan pendapatan pokok yang diterima hingga dapat menambah agenda kasus gizi buruk di Indonesia, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

kapitalisasi bulog

Kehadiran Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga pangan memiliki arti khusus dalam menunjang keberhasilan Orde Baru sampai tercapainya swasembada beras tahun 1984. Menjelang Repelita I (1 April 1969), struktur organisasi Bulog diubah dengan Keppres RI No.11/1969 tanggal 22 januari 1969, sesuai dengan misi barunya yang berubah dari penunjang peningkatan produksi pangan menjadi buffer stock holder dan distribusi untuk golongan anggaran. Kemudian dengan Keppres No.39/1978 tanggal 5 Nopember 1978 Bulog mempunyai tugas pokok melaksanakan pengendalian harga beras, gabah, gandum dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga, baik bagi produsen maupun konsumen sesuai dengan kebijaksanaan umum Pemerintah.

Swasembada beras pada era pemerintahan Soeharto adalah perpaduan dari perluasan lahan budi daya melalui transmigrasi dan intensifikasi atau yang lebih populer dengan sebutan revolusi hijau. Keberhasilan revolusi hijau untuk meningkatkan produksi beras tidak diragukan lagi, khsususnya di Jawa petani dapat menghasilkan dua kali lipat dibandingkan pada masa akhir 1960-an.

Di masa pemerintahan orde baru, seluruh kebijakan pertanian Soeharto berorientasi untuk swasembada beras. Revolusi Hijau yang diawali dengan penemuan mutakhir di bidang agronomi yang mengenalkan varietas padi bersiklus pendek dengan hasil tinggi menjadi faktor pendukung keberhasilan program swasembada beras pemerintah orde baru. Program revolusi hijau adalah proyek ambisius pemerintah orde baru yang memerlukan dukungan biaya yang cukup tinggi. Biaya tidak hanya untuk varietas padi, tetapi juga meliputi rekrutmen dan pelatihan penyuluh pertanian, subsidi sarana produksi, perbaikan infrastukrtur dan stabilisasi pasar.

Disini dapat terlihat peran dari Bulog yang sangat menentukan. Di era tersebut Bulog dapat menyerap seluruh gabah dari petani secara langsung. Kemudian Bulog juga dapat menjaga kestabilan harga ganah yang menguntungkan petani serta harga beras yang dapat dijangkau oleh semua kalangan, termasuk kaum dibawah garis kemiskinan. Peran Bulog juga tidak hanya sampai disitu, untuk membantu para petani Bulog juga telah menyiapkan bibit padi dengan kualitas terjamin dan pupuk dalam jumlah besar yang sengaja disiapkan untuk para petani dengan harga yang terjangkau sehingga semakin mempermudah para petani dalam melakukan pekerjaannya.

Untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahan, rezim orde baru membuka keran impor dan bantuan luar negeri luas-luas untuk impor beras. Setelah kepercayaan ini diraih dan stabilitas teraih. Orba merevitalisasi peran bulog untuk menopang harga beras agar terjangkau, dengan tugas dan struktur organisasi yang diperluas.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di era reformasi saat ini. Disaat Bulog diharapkan mampu menjaga peranannya, namun yang terjadi dilapangan memperlihatkan bahwa Bulog mulai kehilangan arah dari fungsinya sendiri. Fenomena keterbukaan sekarang tentu sangat menyulitkan bagi Bulog dan pemerintah untuk mengisolasi pasar beras dari pengaruh pergerakan harga di tingkat global. Menariknya, status monopoli Bulog justru berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga gabah pada era Orde Baru, tetapi tidak sama sekali sejak era Reformasi (lihat Arifin, 2007).

Selanjutnya, mekanisme kerja antara pengelolaan cadangan pangan pokok dan stabilisasi harga pangan regional belum terbangun secara sistematis. Apalagi, amanat pengelolaan tersebut diperluas dengan menyerahkan pada pasar, seperti gula dan minyak goreng yang masih sering mengalami distorsi yang meresahkan.

Hal ini tidak terlepas dari bisnis Bulog yang dinilai masyarakat sangat vital karena menyangkut pengadaan, penyangga dan pendistribusian beras. Kegiatan ini menjadi makin penting sebab semua itu berkaitan dengan stabilitas harga yang ingin dicapai. Terjaganya stabilitas harga akan meningkatkan kesejahteraan petani produsen, agar nasib petani tidak terus menerus terpuruk, dan harga dipermainkan baik oleh tengkulak maupun masuknya beras impor.

Peranan Bulog di era orde baru menunjukan adanya intervensi pemerintah di bidang pertanian termasuk perberasan diperluas cakupan pada sisi produksi dan kesejahteraan petani. Sepanjang tahun 1970 an hingga awal 1980an, investasi besar-besaran pada infrasturuktur pertanian, pengembangan benih unggul serta pestisida, dan subsisi pada pupuk untuk petani. Pembangunan infrastruktur pertanian dan pengembangan teknik-teknik pertanian serta subsidi pada petani ini kemudian dikenal sebagai the green revolution, revolusi hijau di bidang pertanian.

Hal tersebut berbeda dibandingkan sekarang dimana pemerintah mulai mengurangi intervensinya di bidang pertanian dan lebih menyerahkannya ke pasar sesuai dengan perkembangan pasar bebas di era liberalisasi ini. Ditambah lagi dengan kebijakan impor beras yang ditetpakan oleh pemerintah. Hal ini tentunya sangat merugikan rakyat terutama kaum petani.

Selama ini, pemerintah melalui Bulog membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras, yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar,yang bertindak sebagai oligopolis pasar.
Jumlah penjual yang sangat terkonsentrasi ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah atau beras, yang merupakan peningkatan defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar dinikmati segelintir pedagang.
Ilustrasi menarik tentang kekuatan oligopoli pedagang beras ini dengan sangat gamblang diberikan dalam satu tulisan Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurthi, di Harian Republika (24/01/2006). Menurut Bayu, Bulog hanya mampu menyerap sekitar 10 ton dari surplus yang dikabarkan mencapai 2,7 juta ton pada tahun 2005. Selebihnya ditahan oleh para pedagang untuk berbagai alasan.
Tarik menarik antara Bulog dan pedagang beras inilah yang kemudian menyebabkan melambungnya harga di tingkat konsumen. Dengan hanya sedikit saja manfaatnya, kalau pun ada bagi petani. Hal ini mengingat sebagian besar petani tidak menyimpan gabah atau beras untuk dijual.

Para pengusaha berperan besar dalam menentukan harga dan pasar beras. Kondisi ini menyebabkan petani tidak bisa melakukan akses langsung (menjual,red) padi atau berasnya ke Badan Urusan Logistik Bulog). "Akibatnya mereka bisa semaunya memainkan harga padi petani,’’ujar Kabulog Riau, Syarif Abdullah. Bulog sebagai badan bertugas untuk menjaga dan stabilitas harga tidak mampu membeli semua hasil produksi petani.Sesuai dengan kebijakan pemerintah, bulog hanya membeli beras kualitas medium. Sementara beras kualitas medium tidak bisa bersaing di pasar. “Disini kelemahan bulog,” ujar Syarif.